Toxic Positivity: Kamu Korban atau Pelaku?

Yok bisa yo ; semangat! badai pasti berlalu ; kamu harusnya bersyukur! masih banyak orang lain yang tidak seberuntung kamu!

Sederet kalimat itu pasti acapkali kita dengar atau bahkan kita lontarkan sendiri ketika sedang menceritakan permasalahan atau menjadi tempat curhat teman, pasangan, anak sampai anggota keluarga.Tapi, kamu tahu gak kalau sebenarnya perkataan itu bukannya membuat lawan bicara mendapatkan pencerahan tapi malahan membuat dia naik darah? nah itu dia yang dinamakan Toxic Positivity!

Menurut Konstantin Lukin Ph.D, melalui tulisannya “Toxic Positivity: Don’t Always Look on the Bright Side”toxic positivityadalah ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan perilaku menjaga optimisme, harapan, dan suasana yang baik, meski berada dalam situasi negatif atau stres. Istilah yang semakin populer semenjak pandemi ini banyak dikaitkan dengan berbagai masalah yang muncul seiring dengan perubahan hidup masyarakan dalam kurun waktu setahun terakhir. Kita hidup di masyarakat yang mempunyai budaya untuk mendoktrin agar selalu mencari hikmah dan berpikir baik terhadap masalah hidup yang menimpa. Kebiasaan memandang segala sesuatu dari sebelah sisi saja ternyata meremehkan fungsi otak dan bagaimana manusia memproses sisi emosional dalam dirinya. Bila terus dibombardir dengan dorongan harus positif, maka menurut pakar psikologi justru malahan membuat manusia menjadi negatif!

Postingan di Instagram yang wara wiri dan mempopulerkan bahwa kita perlu selalu memetik hikmah dari setiap kejadian ; bahwa kita harus menyediakan waktu lebih banyak dengan orang-orang tersayang ; bahwa kita harus mulai punya hobi ; bahwa kamu harus raih prestasi itu dan pepesan kosong lainnya, ternyata itulah toxic positivity yang sebenarnya. Mengutip seorang Pyschotherapist dari London, Noel Mcdermott, menjelaskan bahwa toxic positivitysama dengan menyangkal tanda-tanda stress psikologis yang mungkin muncul yang sebenarnya mengingatkan diri kita untuk lebih mawas diri.

Dalam jangka panjang, toxic positivity menimbulkan efek seperti depresi dan anxiety (kecemasan) yang disebabkan memendam emosi di dalam diri alih-alih mengekspresikan perasaan yang sebenarnya untuk didengarkan oleh orang disekitarnya. Benar-benar menyiksa bukan! Bentuk dukungan yang dijejali dorongan agar kita menjadi pribadi yang tetap tegar dalam masa sulit itu bukannya salah, tetapi menurut para pakar justru dapat membuat kesehatan mental kita terganggu. Ford, Lam, John dan Mauss (2018) menyodorkan hasil penelitian bahwa dalam jangka panjang, penerimaan (acceptance) akan pengalaman- pengalaman negatif justru mendukung kesehatan psikologis. Apa artinya? Ketika kita bisa murni menerima perasaan negatif, tanpa perlu mengomentari atau mengkritik, justru kita bisa meraih kesehatan psikologis yang lebih baik. Menerima apa adanya ternyata membantu kita untuk menangani stres dengan lebih baik.

Daripada berusaha keras memaksakan diri bersikap positif, akan lebih baik apabila kita bisa menerima bahwa memang emosi kita itu bak dua sisi mata koin alias ada sisi negatif dan positif. Kita bisa tetap melatih rasa syukur dalam diri namun juga tetap jujur pada diri sendiri mengenai hal-hal yang menganggu pikiran kita. Dengan kata lain : REALISTIS! 

Sebelum kita menjadi orang yang menyebalkan terhadap lawan bicara ada baiknya kita belajar untuk lebih berEMPATI terhadap masalah mereka dan memberikan ruang agar emosi mereka dapat berkembang tanpa langsung MENGHAKIMI. Kalimat ‘Saya mengerti perasaan kamu, ada yang bisa aku bantu’ lebih terdengar enak daripada ‘itu hanya perasaan kamu, coba berpikir lebih positif’. Kalimat ‘memang gak gampang, tapi Aku yakin kamu pasti bisa’ jauh lebih enak di dengar daripada ‘semangat ya kamu masih mending daripada Aku’. Kalimat ‘cerita yuk biar lega’ akan jauh terasa lebih enak di hati daripada ‘jangan banyak ngeluh’ dan seterusnya. Kita tidak berkompetisi untuk melihat siapa yang paling menderita di dunia ini, siapa yang paling tangguh dan jago mengatasi masalah tapi memberikan ruang agar emosi positif dan negatif saling bersanding sehingga ketegangan dalam diri bisa diredakan. Mulai sekarang kamu, ya KAMU! Janji ya jangan toxic ya!

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here