Denting Piano

piano girl
Kredit: Pinterest

Rumah tusuk sate itu sangat asri. Bulan dan Bintang tinggal disana. Bulan, usia tiga puluh tahun. Dia sangat serius menghadapi dunia ini. Adiknya, Bulan sepuluh tahun lebih muda. Dia selalu ceria. Tidak pernah terlihat mukanya bertekuk lipat.

Hari itu. Minggu pertama di bulan Januari dua ribu dua puluh tiga. Udara sangat dingin. Kakak beradik ini berbincang di ruang tamu rumah mereka. Mereka duduk di sofa panjang. Udara semilir menusuk ujung-ujung tulang kaki mereka.

“Kak, aku pergi dulu”, kata Bintang.

“Mau kemana lagi Bintang?”, tanya Bulan.

“Ini baru jam tujuh. Masih pagi. Lagipula ini malam Minggu”.

“Kalau Kak Bulan di rumah terus, kapan ketemu jodohnya?”, celoteh Bintang.

Tidak komentar lagi. Bulan langsung balik badan dan masuk ke kamar nya. Tubuh nya pun langsung dibanting ke atas kasur. Dia menutup kedua telinga nya erat-erat.

“Kenapa aku marah pada Bintang?” Bintang tidak salah. “Aku lah yang selalu mengurung diri di rumah”.

Memasuki minggu pertama bulan Februari di tahun yang sama. Bintang dan Awan sengaja duduk lebih awal di teras rumah. Mereka ditemani oleh orang tua Bintang.

“Tumben kamu rapih sekali. Pakai hem lengan panjang”, kata ayah Bintang.

“Sepatu hitam mu juga mengkilat sekali. Lalat pun tidak ada yang berani nempel di sepatu mu”. Awan yang ditanya langsung menjawab kenapa hari itu dia berpakaian rapih. Didampingi Bintang, mereka menyampaikan kalau akan menempuh hidup baru. Direncanakan tahun depan mereka akan bersanding di pelaminan.

Ujung netra kedua orang tua Bintang langsung berkerut. Mereka langsung teringat Bulan yang belum ada jodoh nya.

“Umur Bulan tahun depan masih dua puluh satu tahun”.

“Kalian yakin?”, tanya ibu Bintang.

“Yakin sekali Bu. Aku yakin Awan bisa menjagaku”, jelas Bintang.

Bintang dan Awan sudah berpacaran sejak empat tahun lalu. Mereka berpacaran sejak sama-sama duduk di Sekolah Menengah Atas. Mereka yakin kalau jodoh sudah tiba.

“Kalian boleh menikah kalau Kak Bulan sudah menikah”, jelas ayah.

Muka Bintang langsung berubah seperti tikus kecebur saluran air kotor. Setengah berlari dia langsung masuk ke kamar Bulan. Kakak tersayang yang selalu mengurung diri di kamar nya. Dia menerobos masuk ke kamar kakaknya.

“Kenapa sih kakak tidak bisa lihat orang bahagia?”, isak Bintang.

Bulan memperbaiki duduknya. Menghadap Bintang.

“Maafkan kakak ya!”

Hening suara kakak beradik itu. Bulan terbayang wajah Lintar. Satu-satunya lelaki yang dapat menembus hatinya. Lintar yang tiba-tiba hilang tertelan bumi. Lintar yang menjadikan nya belum bisa berpaling hati.

“Kak Lintar terlalu santun”, jawab Bulan lemah.

Bintang tak kenal lelah. Selama tahun lalu dia selalu mencarikan jodoh untuk kakaknya. Tapi Bulan selalu menutup hati nya sejak tidak ada kabar berita dari Lintar. Lintar hanya pamit untuk mencari pekerjaan baru nya.

“Hey, dengar semua”, seru Bulan setelah mereka bergabung di teras.

“Dengar, ada makhluk hidup di sebelah”.

Bintang langsung memberikan pujian kepada Bulan. Indra pendengar Bulan memang beda dari yang lainnya. Apalagi kalau mendengar suara dentingan piano.

“Telinga kak Bulan canggih”, puji Bintang.

“Suara piano dari rumah sebelah saja terdengar”.

“Aku kan pendengar setia lagu-lagu klasik dari suara piano”, kata Bulan.

Bintang dengan gerak cepat nya mencoba mencari tahu siapa yang melantunkan denting piano itu. Tapi Bulan mencegahnya.

“Kita masuk rumah saja. Sudah jam sembilan malam”.

“Kamu juga harus pulang Awan”, kata Bulan kepada calon suami adiknya.

Bulan pamit ke semua. Tapi dia tidak bisa langsung tidur. Dia memikirkan denting piano tadi. Dan jari-jari panjang milik Lintar. Pikiran Bulan menerawang ke delapan tahun lalu. Saat itu dia baru berusia dua puluh dua tahun. Lintar pamit untuk mencari seonggok berlian bekal pernikahan dengannya.

“Sabar dan tunggu aku ya”, pamit Lintar.

“Tahun dua ribu dua puluh tiga aku akan melamar mu”.

Bulan sadar dari lamunan nya. Hari ini bulan Februari tahun dua ribu dua puluh tiga. Dia kembali ke teras rumah. Disana masih ada Bulan. Alunan Fur Elise terdengar lagi. Lagu yang nada awal nya sangat melegenda. Lagu yang ditulis oleh seorang komponis besar. Ludwig van Beethoven yang tuna rungu.

Setelah satu jam mendengarkan denting piano itu. Bulan dan Bintang terhenyak. Terdengar derit suara pintu dari rumah joglo itu. Diterangi dari lampu sorot, mereka melihat seorang laki-laki. Usianya sekitar empat puluh tahun. Dia menggunakan kacamata kekinian. Bentuk nya kotak berbingkai hitam. Dia tidak bisa berjalan tegap. Tapi dia sigap mendorong sendiri kursi roda nya.

Muka Bulan semburat merah. Badannya limbung. Bintang dengan sigap menangkap nya.

“Dia kah yang kunanti?”, tanya Bulan kepada adiknya. Bintang hanya bisa mengangguk dalam diam.

-Farah R. Indriani-

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here