Review Escape From Mogadishu: Melihat Hubungan Korea Selatan – Utara dari Kacamata Pragmatis

Harap menjadi perhatian, review ini mengandung spoiler!

Dunia perfilman Hallyu mencetak lagi film berkualitas terbaik di tahun 2021 ini. Saat menonton Escape From Mogadishu, pikirkan mengenai film Black Hawk Down yang diproduksi tahun 2001 dan berhasil menjadi pemenang Oscar untuk kategori Penyuntingan Film Terbaik dan Tata Suara terbaik, dengan tema yang sama yaitu tentang keruntuhan Somalia dan perang saudara yang terjadi di awal tahun 1990-an. Perbedaannya adalah film Escape From Mogadishu mengambil waktu sebelum serangan militer Amerika Serikat ke Somalia di tahun 1993.

Aksi yang ditampilkan dalam film karya Ryo Seung Wan ini cukup fenomenal, dengan performa akting yang luar biasa dari para pemainnya. Adegan kejar – kejaran di mobil terasa sangat intens dan membuat penonton tidak bernapas barang sedikit pun sampai akhir. Pengalaman sang sutradara, yang sering disebut sebagai kloningnya Guy Ritchie dan Quentin Tarantino, dalam pembuatan beberapa film aksi sukses seperti The Berlin File, Veteran dan The Battleship Island turut memberikan warna yang kental akan pandangan tegang tentang bagaimana manuver politik yang licik, permainan kekuasaan, dan mata-mata yang saat dicampur dengan pengabaian terhadap warga lokal, dapat berubah menjadi film horor politik dengan sekumpulan orang yang berpikir bahwa mereka memegang kendali untuk menyelamatkan hidup yang lainnya. Kalau boleh diibaratkan, Escape from Mogadishu adalah representasi Argo dan jatuhnya Saigon yang terjadi di tanah Afrika.

Pada tahun 1990, Korea Selatan sangat ingin bergabung dengan PBB dan, karena banyak negara yang harus memberikan suara untuk pengakuan mereka berada di Afrika, negara tersebut meluncurkan kampanye untuk merayu para pemimpin lokal, termasuk diktator Somalia, Mohamed Siad Barre. Film dibuka dengan sekelompok pejabat dari kedutaan Korea Selatan, termasuk Kang Dae Jin (Jo In Sung) dan Han Sin Seong (Kim Yoon Seok), dalam perjalanan mereka untuk membawa hadiah untuk Barre. Di sisi lain, personel kedutaan Korea Utara, Rim Yong Su (Huh Joon Ho) dan Tae Joon Ki (Koo Kyo Hwan) mencoba untuk menggagalkan maksud dan tujuan Korea Selatan di setiap kesempatan. Sebagai balasan, Korea Selatan menuduh Korea Utara menjual senjata kepada pemberontak.

Tetapi ketika Somalia terperosok lebih dalam ke dalam perang saudara dan anarki, dan ketika pemerintah, pemberontak, dan rakyat biasa Somalia mulai menyerang orang asing pada umumnya, menjadi jelas bahwa waktu telah habis untuk permainan memperebutkan kepentingan di antara kedua Korea di masa lalu. Hanya ada satu pilihan tersisa bagi para duta besar dan pegawai kedutaan: keluar dari Mogadishu.

Inilah dorongan naratif dasar dari Escape from Mogadishu yang mendorong ke-2 diplomat Korea dan keluarga mereka, yang terputus dari komunikasi dan pasokan makanannya, harus merencanakan bagaimana keluar dari negara di mana sebagian besar penduduknya tiba-tiba menginginkan kematian mereka. Apakah keduanya harus mengesampingkan perbedaan yang ada untuk saling membantu atau berpegang teguh pada permusuhan lama mereka?

Ada 2 peristiwa bersejarah yang terjadi di sini, yaitu para diplomat Korea yang melarikan diri dari Mogadishu dan perang saudara Somalia. Bagi beberapa orang, film ini terkesan mengeksploitasi perang saudara Somalia, dan, ya, itu akan terjadi jika ini tidak faktual. Namun bagaimana pun juga, kejadian ini adalah peristiwa nyata. Escape From Mogadishu adalah film Korea yang berfokus pada sisi Korea daripada sudut makro termasuk keduanya. Rasanya bohong jika saya mengatakan tidak terasa aneh kalau revolusi dan pengambilan Mogadishu hanya menjadi latar belakang film ini saja.

Saya pun mencoba kembali dan memperbarui dengan beberapa pemikiran lain. Bukan karena Mogadishu dan perang saudara berperan sebagai latar belakang, hanya saja keduanya diposisikan sebagai pihak lainnya. Dalam film terdapat beberapa unsur penting, seperti kedutaan Korea Selatan, kedutaan Korea Utara, dan perang di sekitar mereka. Tidak ada perbedaan antara pasukan pemerintah dan pemberontak. Di awal film, setelah meninggalkan pertemuan resmi pemerintah, Duta Besar Han menyatakan bahwa semua pejabat yang mereka temui, tidak lebih dari penjahat dan preman. Semua kekuatan eksternal bekerja melawan perwakilan Korea, entah mereka sadari atau tidak.

Syuting film dengan biaya tinggi ini, hampir seluruhnya mengambil tempat di Maroko dan ditangani oleh Ryo Seung Wan dengan sangat baik dan penuh kecakapan dalam menampilkan adegan aksi yang menuntut kejelian sutradara agar tampil luar biasa menegangkan namun tetap menampilkan sisi manusiawinya. Jadi, jangan kaget jika Hollywood mengetuk pintu rumah pria pencinta film aksi Hongkong ini untuk menjadi sutradara besar Korea Selatan berikutnya setelah keberhasilan Bong Joon Ho lewat film Parasite (2019) yang sukses meraih Oscar sebagai sutradara terbaik.

Penasaran? Kamu bisa cek trailernya melalui link berikut:

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here