Suami Doyan Laki-laki Juga, Duh Kok Bisa?

Laki-laki yang sudah (pernah) menikah, kok bisa begituan sama laki-laki juga?  Kasus pencabulan ini melibatkan pemuda di bawah umur pula. Itulah jeritan sejumlah pemirsa terkait kasus yang pernah menyandung pedangdut pria ternama. Seorang pria dengan riwayat pernah menikah (dengan perempuan, tentunya) dua kali pula,  ternyata mencintai sesama jenis. Kok bisa? Untuk mendapat penjelasan ilmiah soal kasus ini, psikolog klinis dan forensik, Lita Gading, pernah memberi  sedikit penjelasan.

“Gue minta bantuan lo,” ucap seorang pria sebut saja  Budi  kepada teman perempuannya, sebut saja Ani. “Lo nikah sama gue. Please,” lanjutnya. Kesungguhan Budi meluluhkan Ani. Keduanya menikah. Budi yang berkarier mapan kemudian membelikan Ani apartemen dan barang-barang mewah lain. Minggu demi minggu dilewati sang istri dalam bahagia. Sampai bencana datang.

Budi memperkenalkan Iwan sebagai kekasihnya kepada Ani. Lebih dari itu, Budi meminta Ani mengakui Iwan sebagai keponakannya di hadapan keluarga besar Budi. Itu saja? Tidak. Iwan kemudian diizinkan tinggal seatap. Ani yang merana kemudian curhat kepada Lita. Sampai di sini, kita tahu, pria menikahi perempuan, bukan berarti ia tak bisa jatuh hati kepada sesama laki-laki. Bukan jaminan laki-laki yang menikahi perempuan itu 100 persen lurus atau kalau dalam bahasa awam, normal.

“Kita mengenal istilah biseksual. Itu cukup banyak terjadi. Pria menikah namun tetap mencintai sesama pria itu didasari beberapa faktor. Pertama, mereka nikah karena malu menjadi gay atau biseksual. Kedua, tuntutan sosial. Masyarakat menghakimi, jika laki-laki sudah berusia matang tidak kunjung menikah. Ketiga, menikah semata karena ingin membahagiakan orang tua meski di lubuk hatinya belum tentu bahagia,” demikian Lita menerangkan.

Dari pengalaman, Lita kerap menemui fakta seorang gay atau biseksual menikah. Beberapa bulan kemudian si istri mengandung lalu melahirkan anak. Tidak hanya satu anak, malah. Lita menerangkan bukan tidak mungkin itu terjadi karena si pria kasihan pada istri yang telanjur dinikahi.

“Namun, beberapa orang mengaku bahwa ketika menjalani hubungan intim dengan istri, pria ini membayangkan sedang (maaf) bersenggama dengan pasangan sejenisnya untuk mencapai klimaks yang nikmat. Chemistry itu dibangun dengan cara membayangkan kekasih yang lain,” Lita blakblakan.

Obrolan  kemudian mengarah ke kasus yang lebih spesifik. Mungkinkah seorang laki-laki yang sudah (atau pernah) menikah main gila dengan sesama jenis, khususnya laki-laki di bawah umur? Itulah pertanyaan banyak orang mengiringi kasus Ipul. Lita mengatakan, faktor coba-coba salah satu penyebabnya. Faktor lain?

“Kalau dia melakukannya dengan pria seumur, bisa jadi pria seumur itu enggak terima lalu buka suara di muka publik. Tamatlah riwayat pelaku. Kalau misalnya artis melakukan dengan sesama artis, bisa jadi untuk menyelamatkan karier masing-masing, keduanya bungkam. Tapi, cepat atau lambat itu bisa menjadi bom waktu. Kalau melakukan dengan anak-anak yang notabene bukan siapa-siapa, dia berpikir pria di bawah umur tidak akan berani bersuara,” paparnya.

Anak-anak, kata Lita, dianggap tidak berdaya dan tidak berani berbuat lebih jauh atas apa yang menimpanya. Namun, tidak semua anak terima diperlakukan demikian. Hal lain yang yang memantik tanda tanya, si artis dikenal religius. Apaskah iman tak mampu membentenginya dari godaan tercela?

Lita mengatakan, rajin ibadah bukan jaminan seorang biseksual atau gay menjadi normal 100 persen. Apalagi jika ibadah itu dilakukan sebatas kewajiban yang harus dipenuhi. Waktunya ibadah, ya ibadah. Waktunya baca Kitab Suci, ya baca. Waktunya kencan dengan pasangan sejenis, ya kencan. Ibadah dilakukan namun level spiritualnya sebatas melakukan apa yang harus dilakukan. Tidak lebih.

“Itu sebabnya kalau dia yang religius mengaku khilaf melakukan hubungan sejenis, publik tentu protes begini: khilaf, kok berkali-kali?” Lita menukas. Orientasi seksual, menurut Lita, dapat dibedakan menjadi dua. Orientasi seksual yang disadari dan tidak disadari. Yang disadari dipicu faktor trauma karena pernah dilecehkan, faktor lingkungan pergaulan, pendidikan, dan pola asuh. Sementara yang tidak disadari, karena unsur genetik dan kelainan pada sistem saraf-saraf otak.

“Mereka baik korban maupun pelaku, patut dirangkul. Jangan sampai mereka terekspos berlebihan sehingga membangkitkan opini-opini publik yang memojokkan,” pungkas Lita. Tidak semua gay dan biseksual jahat serta memiliki motif melecehkan (predator anak).

Pemaparan Lita Gading ini nyata terjadi di tengah-tengah kita. Kami sempat berbincang dengan seorang pria, AS (35), dari sebuah komunitas gay di Jakarta. AS dapat membuat seorang pria normal beristri jatuh cinta padanya. Bahayanya, ini bukan sekadar tentang seks! “Semuanya berawal dari pertemanan, lalu kedekatan, lalu kebutuhan ingin didengar, rasa nyaman.  Pesan saya buat para wanita, dengarkanlah suami kalian. Seperti wanita, laki-laki juga ingin didengar dan dimengerti.”

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here