Sebuah Pengalaman: Ketika Percaya, Mukjizat Itu Nyata

Mukjizat. Mungkin makin sedikit orang yang memercayai adanya mukjizat di masa serba canggih ini. Mukjizat mungkin terdengar kuno. Apalah itu mukjizat di tengah maraknya teknologi AI. Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), Mukjizat adalah kejadian (peristiwa) ajaib yang sukar dijangkau oleh kemampuan akal manusia.

Siapa yang pernah mengalami mukjizat? Siapa yang mau mengalami mukjizat? Sebenarnya setiap dari kita, pasti pernah dan bisa mengalami mukjizat. Hanya saja, kita kurang menyadarinya. Kita kurang percaya, kurang berserah. Kita seringkali lebih percaya pada kemampuan kita, akal pikiran kita, kekuatan kita, atau lebih percaya pada teman, dan orang-orang tertentu yang dianggap ‘hebat’.

Padahal akal pikiran kita ini sangat terbatas lho. Demikian teman-teman, atau orang-orang yang kamu anggap hebat itu, juga memiliki keterbatasan. Dibandingkan dengan Tuhan Allah, yang punya kehidupan ini. Kita suka nggak sadar. Karena memang kita terbiasa mengandalkan kekuatan sendiri.

Coba berani bilang, “saya masih menunggu jawaban Tuhan (percaya pada kehendak atau apa yang diinginkan Tuhan)” di hadapan teman-temanmu, ada kemungkinan kamu ditertawakan. Saya pernah mengalami, yang namanya ditertawakan karena mengatakan hal seperti itu. Tapi saya juga mengalami, yang namanya mukjizat, di antara aktivitas pelayanan saya. Sebuah pengalaman nyata di tahun 2023.

Tahun 2023 adalah tahun dimana saya memulai pelayanan di gereja sebagai seorang Diaken. Tugas saya sebagai Diaken di di antaranya adalah memberitakan Firman Tuhan (Pelayan Firman), atau memimpin jalannya ibadah (Pelayan Liturgi) dalam berbagai jenis ibadah yang ada dalam tatanan gereja kami.

Perlu digaris bawahi, melakukan pelayanan, artinya bekerja untuk Tuhan. Kami tidak dibayar. Justru, kami memberikan waktu, energi, pikiran, dan kadang materi untuk melayani.

Suatu kali, saya ditugaskan untuk membawakan firman di sebuah ibadah rumah tangga (IRT) yang biasa diselenggarakan pada Rabu Malam, pukul 19.30 WIB. Hari itu, Rabu sore, materi sudah siap, hati sudah siap. Tinggal satu hal yang belum siap; bagaimana saya bisa sampai ke tempat tujuan?

Mobil ada. Tapi bensin tipis. Nyaris habis. Uang untuk membeli bensin, jujur tidak ada. Karena, sampai di hari itu saya belum menerima pembayaran dari salah satu klien.

GAWAT!

Semua sudah dipublikasikan, nih; jadwal ibadah, dan nama saya sebagai pelayan firman hari itu pun tercantum. Tidak mungkin saya bilang mendadak tidak hadir. Hati pun gundah. Dag dig dug. Gimana caranya saya bisa sampai ke tempat yang dituju?

CEMAS!

Jam terus berjalan. TIK. TOK.TIK.TOK. Mata beberapa kali mengecek layar ponsel. Melihat-lihat apakah transferan sudah masuk? Sampai waktu menunjukkan pukul 17.00 WIB, NOL, belum ada uang yang masuk.

Ini “ngeri-ngeri sedap”. Ya Gusti, gimana ini? Saya mengucap doa dalam hati, “Tuhan, malam ini Tuhan tahu, saya ada tugas pelayanan, ya. Saya membawakan firman Tuhan. Bagaimana pun caranya, saya tahu, Firman ini harus sampai kepada jemaat.”

Selanjutnya, saya mandi, merias diri, mempersiapkan segalanya. Lalu sekilas menengok HP lagi, belum ada juga transferan.

Wow, this is great!” gumamku.

Jam terus bergerak. Kini menunjukkan pukul 18.30 WIB. Saya harus jalan. Tangki bensin, TIRIS! Belum ada keajaiban. Berharap, minyak goreng berubah jadi minyak bensin? Tidak, itu tidak terjadi. Itu hanya khalayanku, atau khayalanmu.

Saya mengucap lagi dalam hati, “Tuhan, sudah saatnya saya jalan. Yang penting saya sampai di tempat tujuan. Apakah nanti mobil bisa jalan untuk pulang atau tidak, saya serahkan sama Tuhan. Saya sekarang mau jalan.”

Ya, dalam prediksi “manusia”, bensin tiris ini masih bisa mengantar saya sampai tujuan. Tapi kemungkinan tidak cukup digunakan untuk pulang. Terburuknya, saat pulang nanti mobil bisa mandek di tengah jalan. Mandek saat pulang nggak masalah, yang penting bisa sampai tempat tujuan dulu, dan pelayanan bisa dilakukan.

Sampai di tempat tujuan, saya memfokuskan diri ke jalannya ibadah. Masalah pulang, biar terserah Tuhan mau gimana. Ibadah selesai, kami makan-makan. Ku tengok-tengok lagi ponsel. Ah, Masih Nihil.

Lalu tibalah saatnya pulang. Wajah ini masih tersenyum manis manja. HAHAHIHI. Padahal diam-diam dalam hati, dag dig dug, terancam mandek pas pulang nanti.

Orang-orang sudah mulai memasuki mobilnya masing-masing, bergegas pulang. Beberapa ada yang menebeng rekan yang mereka kenal. Lalu, tiba-tiba datanglah mendekat seorang kakek berusia 86 tahun menggunakan tongkat. “Tongkat Musa,” si kakek sering menyebutnya. Kata si kakek, “Saya mau ikut mobil-mu”

WHAHAHA. Ini kalau si kakek benaran ikut mobil saya, maka jalannya harus muter. Sampai rumah aja belum tentu bisa. Ini pakai muter jauh. Rasanya mustahil. Lalu seorang ibu paruh baya dan suaminya menawarkan mengantar si kakek, karena searah. Tapi kakek ini berkeras, tetap mau ikut mobil saya.

Oke, baiklah. Saya tak bisa menolak. Saya berserah. Dengan senyum, saya iyakan, si kakek menebeng di mobil saya. Adik saya yang menyetir, sudah menatap saya memberikan kode ‘nggak aman’. Tapi, saya tetap menunjukkan senyum dan membiarkan si kakek masuk ke dalam mobil. Saya pikir, yang terjadi, terjadilah. Tuhan yang atur, terserah mau gimana jadinya nanti.

Mobil mulai jalan. Adik dan keponakan saya beberapa kali menoleh ke belakang, memberi kode. Tak lama, benar saja, lampu merah bensin menyala. Makin panik, nggak sih, guys?

Mulailah berkumandang di mobil lagu “Jalan serta Yesus”.

Keponakan dan adik saya yang menyanyikannya.

“…. Jalan serta Yesus. Jalan sertaNya, setiap hari. Jalan serta Yesus. Serta Yesus selamanya. Jalan dalam suka. Jalan dalam duka. Jalan sertanya, setiap hari…..”

Saya menegok HP lagi. TRANSFERAN SUDAH MASUK, kali ini. Lalu saya berani mengatakan, “Beli bensin dulu.”

Kemudian saya melihat si kakek grasak-grusuk. Saya pikir ngapain ini kakek? Nggak tahunya, dia mengeluarkan uang. Uang ini katanya untuk beli bensin. 150 ribu rupiah. “Wah, Pak, saya gak engak. Saya nggak bisa terima. Masa bapak nebeng saya, harus bayar lebih mahal dari taksi. Nanti apa kata anak bapak? Saya nanti dimarahi,” ucap saya.

“Ah, apa urusannya sama anak saya. Ambil ini.”

“Jangan pak, saya nggak enak, pak.”

“Ambil. Memangnya kenapa? Aku ini Bapa(k) mu!”

DEG! “Aku ini Bapa(k) mu”–

Saat itu, sekian detik saya terdiam, saya terima uang dari si kakek.

Mobil sudah berada di depan pengisian bensin. Saya keluar. Ketik sampai di luar pun, bertemu dengan tukang bensin, saya masih mau memakai uang saya. Saya bertanya, “Mas, di sini bisa bayar pakai Q-RIS?”

“Nggak ada Q-RIS mba, cuma bisa CASH.”

Jadi, memang harus pakai uang cash pemberian si kakek. Mau ada uang di m-banking pun, toh gak bisa menggunakan QRIS di situ kan. Artinya, memang sudah jalannya demikian.

Ini mungkin mukjizat kecil bagimu. Mungkin malah tak berarti bagi kamu yang merasa kuat, keren, smart. Tapi dari hal-hal kecil seperti inilah kita belajar dan mensyukuri. Mau kecil, mau besar, sadarilah, ada kuasa Tuhan di setiap langkah kehidupan kita, ada rencana-NYA. Bukan rencana kita.

Kunci dari mukjizat adalah iman dan percaya. MUKJIZAT bisa terjadi kapan saja, ketika kita mau percaya, dan menyerahkan segala sesuatu pada Tuhan empunya kehidupan ini. Bukan pada kemampuan, kekuatan, atau akal pikiran kita sendiri. Tapi, berapa orang dari sekian juta orang yang mau “percaya” penuh dan menyerahkan segala sesuatunya kepada Tuhan?

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here