Ikan Bambu, Sang Penyambung Dua Hati

couple

Sabtu, 30 Oktober 2021.

Ting tong. Bel berbunyi dua kali sangat nyaring di rumah Adira. Jam dinding berbentuk bundar yang ada di ruang tamu sekaligus ruang TV dan ruang makan  menunjukkan jam 10.00. Dengan malasnya Adira bangun dari duduk di depan TV. Dia menuju pintu depan rumah.

Adira, seorang wanita muda. Usianya 25 tahun. Setiap hari Sabtu dia menghabiskan waktu nya untuk bersantai di rumah. Dari Senin sampai Jumat Adira bekerja menjadi perawat di salah satu rumah sakit swasta di daerah Tangerang Selatan. Walau dia bekerja hanya enam jam sehari tapi banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan.

“Selamat pagi Mbak,” kata pemuda di depan Adira.

“Maaf saya mau ambil ikan bambu,” lanjutnya lagi.

“Ikan apa?,” bentak Adira. Pemuda berjaket dan memakai helm biru dengan tanda merah itu terdiam. Dilihat dari seragam nya tak asing lagi pemuda itu bekerja di perusahaan jasa antar kirim barang.

“Kemarin saya salah kirim ikan dalam bambu,” kata pemuda itu lagi. Kemarin pemuda itu mengambil ikan bambu dari restoran khas ikan bambu yang terkenal seantero kawasan rumah Adira.  

“Seharusnya ikan bambu itu untuk rumah nomor 128,” jelas pemuda itu.

“Salah siapa diantar ke rumah saya,”. “Dan sudah habis oleh adik saya,” jawab Adira kesal karena hari Sabtu-nya terganggu. Fadir yang masih berusia 15 tahun sangat senang dengan pemberian kakaknya. Belum pernah kakaknya memberikan makanan ikan bambu. Dalam sekejap ikan bambu itu sudah habis dilahapnya.

Fadir satu-satunya keluarga yang dimiliki oleh Adira sejak kedua orang tua mereka kembali kepangkuan-Nya lima tahun lalu. Dan Adira menjadi ibu sekaligus ayah bagi Fadir. Sehingga di usianya yang ke-25 Adira masih belum memikirkan pasangan hidup.

Sepeninggal pemuda itu, Adira merasa sangat bersalah. Dia tidak tenang bekerja. Karena dia tahu betapa sukarnya mencari pekerjaan saat ini. Terbayang dalam benak Adira bagaimana pemuda itu harus mengganti ikan bambu yang sudah dimakan oleh Fadir. Dia tidak tahu nama pemuda itu. Bahkan dia belum sempat menanyakan nomor telepon selulernya. Adira sangat menyesal telah membentak pemuda itu.

Sabtu, 27 November 2021.

Ting tong. Bel berbunyi nyaring. Dua kali. Kali ini Adira dengan cepat mencari sepasang sandal kesayangannya. Sudah satu bulan belakangan ini hidup Adira selalu dibayang-bayangi pemuda yang dia bentak.  Dia selalu merasa bersalah. Bagaimana bisa seorang Adira tidak mengembalikan makanan yang bukan haknya.  

“Selamat pagi Mbak,” kata pemuda itu. Masih menggunakan seragam yang sama saat dia datang ke rumah Adira satu bulan lalu.

“Maaf mengganggu lagi, kenal kan saya Fatah,” kata pemuda di depan Adira. Adira tidak mengeluarkan kata sepatah pun. Mukanya merah padam walau pun udara di luar berangin.

“Mungkin Mbak anggap lancang, tapi saya akan ajak Mbak untuk makan ikan bambu,” lanjut Fatah ramah. Di tempatnya, Adira dan Fatah sangat menikmati ikan bambu itu. Mereka bercerita panjang lebar. Sesekali tawa mereka terdengar. Mungkin ini jodohku. Dijalani saja. Andaikan ayah dan ibu bisa merasakan hatiku yang bergetar.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here