Setiap harinya Nei, nama pendek dari Neira, selalu menempati sudut kanan café kopi itu. Dia biasanya datang sebelum matahari tenggelam di ufuk barat. Kalau pun tidak kelihatan batang hidungnya, tidak ada seorang pun yang berani mengusik sudut itu. Selalu ada tanda Reserved di sana.
Nei selalu menarik kursi panjang persegi empat yang ada di ujung kanan café “Menanti”. Menanti sudah ada sejak lima tahun lalu di desa Cisantana. Berada tepat berseberangan dengan Gunung Ciremai, gunung tertinggi di Kabupaten Kuningan, Provinsi Jawa Barat. Gunung itu memiliki ketinggian 3.078 meter di atas permukaan laut. Panorama Gunung Ciremai bisa terlihat sangat indah dari Menanti. Tidak heran Nei selalu setia duduk di kursi kesayangan nya.
“Maaf, bisa geser sedikit?”, tanya Nio. Nio alias Arenio seorang pemuda usia 30 tahun. Dia enam tahun lebih tua dari Nei.
“Aku mau duduk ditempatku”, tegas Nio. Neira yang diajak berbicara oleh Arenio tidak bergeming dari tempat duduknya. Bahkan satu sentimeter pun Nei tidak bergerak dari posisi duduknya. Dia tetap mematung. Sambil menyeruput kopi kesukaannya, dia melihat secara serius panorama pemandangan gunung yang ada di seberang nya. Terbayang di benaknya dua kawah yang ada di Gunung Ciremai. Kawah Barat dan Kawah Timur. Aroma hutan pinus pun seperti terhirup melalui hidung bangirnya.
Kali ke dua berselang satu minggu, Nio datang lagi ke Menanti. Kursi yang dia mau duduki sudah ditempati oleh wanita yang sama. Dia langsung bertanya kepada pemilik Menanti. Pak Sepa menyampaikan kalau Nei memang hampir setiap hari duduk di tempat duduk yang sama. Ini sudah berlangsung sejak Menanti berdiri.
“Kenapa kamu harus duduk disini?”, tanya Nio.
“Aku pun mau duduk disini”. Nio melanjutkan kalau tempat duduk yang dituju bisa dibilang tempat VIP alias very important person karena pemandangan gunung yang menakjubkan terlihat dengan jelas. Tanpa menunggu jawaban dari Nei dia langsung duduk tepat di depan Nei. Dia duduk di tempat duduk yang tidak diberi tanda silang.
“Apa Anda penikmat kopi?”.
“Apa hanya boleh wanita penikmat kopi yang bisa duduk disini?”.
“Paling tidak yang mengerti apa itu kopi pahit tanpa gula,” cetus Nei. Nio sempat kaget mendengar suara Nei. Nio tidak membuang kesempatan untuk menarik perhatian Nei. Dia bercerita kalau dia tahu apa itu kopi Robusta, apa itu kopi Luwak, apa itu kopi Macchiato dengan susu dan tanpa susu. Pembicaraan satu arah ini hanya berlangsung 30 menit. Nio pun menyelesaikan seruput kopi terakhir Macchiato-nya. Dia bertekad untuk mengenal Nei lebih jauh.
Tiga minggu kemudian, yang berarti di akhir bulan ini Nio akan datang lagi ke Menanti. Seperti biasa, Nei terlihat duduk di tempat yang sama. Tanpa basa-basi lagi Nio langsung duduk tepat di hadapan Nei.
“Sebegitu pentingnya kah duduk disatu tempat hanya untuk menyeruput kopi kesukaanmu?“
“Nio dari Arenio,”.
“Nei dari Neira”, jawab Nei sambil menghentikan seruput kopi pahit tanpa gula kesukaannya. Tidak terasa 30 menit ke dua berjalan lebih lancar dari 30 menit pertama. Tidak puluh menit kedua ini bukanlah pembicaraan satu arah dari Nio.
Di bulan yang baru, Arenio mengetahui kalau Neira pernah punya mimpi untuk mendaki Gunung Ciremai. Aral melintang tidak dapat ditolak. Arinata atau Nata sahabat Nei, ketika dia berusia 19 tahun, mendahuluinya ke alam yang berbeda. Persis enam bulan sebelum mimpi mereka terwujud.
“Akhir bulan ini kita ke seberang ya”, kata Nio. Nei hanya menggangguk perlahan.