Squid Game Terinspirasi Dari Kisah Nyata Brother’s Home di Tahun 1980an, Mengerikan!

Squid Game, terinspirasi dari kisah nyata di Korea Selatan pada 1986? Beberapa hari terakhir ini, viral di dunia maya, foto-foto sebuah fasilitas rahasia dan orang-orang di dalamnya mengenakan jaket berwarna biru, dengan latar tempat tidur susun, mirip yang kita lihat di serial Netflix Squid Game. Hanya saja, foto ini dari masa lalu dan nyata!

Meski sutradara Squid Game, Hwang Dong Yuk mengatakan serial ini dibuat berdasarkan pengalamannya saat kesulitan ekonomi dan riset, siapa sangka, muncul kisah dari masa lalu yang menyerupai Squid Game, dan lebih mengerikan.

Namanya, Brother’s Home, sebuah fasilitas di tempat terpencil, jauh dari keramaian kota, rentang tahun 1970 – 1986. Sejumlah netizen mengungkap kesamaan antara Brother’s Home dan Squid Game. Salah satunya, podcast Jumpers Jump, dan diunggah ulang di beberapa akun TikTok.

Viral di TikTok bahwa series Netflix Squid Game terinspirasi dari kisah nyata di Korea Selatan pada 1986, Brothers’ Home. Netizen mengungkap sejumlah kesamaan antara keduanya. Salah satu akun yang mengatakan membagikan konsep ini ada podcast Jumpers Jump di YouTube.

“Squid Game sebenarnya terinspirasi dari kisah nyata dan ini disensor di mana pun. Dan hanya ada satu orang yang bicarakan soal ini makanya ini jadi… ya. Jadi, itu disebut ‘Brother’s Home’,” ujar Gavin Rutadalam TikTok @soupclipsz

Melansir BBC, pada suatu hari tahun 1984, seorang anak kecil bernama Han Jong-sun berusia 8 tahun sedang menemani ayahnya ke kota. Ada juga saudara perempuannya yang ikut.

Ayahnya sangat sibuk di sana, sehingga memutuskan meninggalkan anak-anaknya ke petugas polisi agar aman, namun ternyata itu keputusan yang salah. Han dan saudarinya diculik lalu dipaksa masuk ke dalam bus.

“Sebuah bus berhenti di depan kantor polisi dan kami dipaksa masuk ke dalam bus,” kenang Han lebih dari 30 tahun kemudian.

Tanpa dia ketahui, bus itu membawa mereka ke Hyungje Bokjiwon, sebuah fasilitas swasta yang secara resmi merupakan pusat pembinaan masyarakat. Namun pada kenyataannya, menurut mereka yang selamat, itu adalah pusat penahanan brutal yang menyiksa ribuan orang.

Menurut kesaksian dan bukti yang dikumpulkan dari lokasi tersebut, para tahanan mengatakan mereka digunakan sebagai budak di lokasi konstruksi, pertanian, dan pabrik selama tahun 1970 hingga 1980-an. Mereka juga dikabarkan mengalami penyiksaan dan ruda paksa. Ratusan orang meninggal dalam kondisi yang tidak manusiawi.

Han dan saudara perempuannya ditahan di sana selama tiga setengah tahun. Pertama, mereka disiksa. Bukan dengan memainkan permainan anak-anak, melainkan diminta kerja paksa. Sama seperti orang dewasa. Mereka yang menjadi korban penculikan operasi ini rata rata adalah tuna wisma yatim piatu gelandangan serta orang orang putus asa yang tak mempunyai pekerjaan|


Dari kesaksian korban, para korban tahanan diatur untuk menggunakan baju training berwarna biru dan sepatu karet. Mereka juga diberikan hanya sepotong celana dalam nilon.

“Saya jarang punya kesempatan untuk mandi. Kutu ada di sekujur tubuh saya. Kami makan ikan busuk dan nasi jelai yang bau setiap hari, benar-benar setiap hari. Hampir semua penghuni kekurangan gizi,” kisah Choi Seung-woo yang ditahan waktu umur 13 tahun.

Tak ada yang dapat kabur dari sana, semua karena ‘petugas’ sangat kasar dan memaksa mereka terus bekerja. Mereka yang menolak bekerja, diberi hukuman. Hukumannya dengan bermain. Tapi permainan yang mematikan.

Sebenarnya orang tua dari anak-anak yang diculik itu melapor ke kepolisian, tapi tidak diacuhkan.

Pada 1980-an, akhirnya rumor beredar di Busan. Rumor itu menyebut orang-orang dikurung, disiksa sampai mati, oleh tempat ‘kesejahteraan masyarakat’.

Yakin bahwa anak-anaknya diculik dan dijebak di fasilitas itu, ayah Choi mengetuk pintu Hyungje Bokjiwon. Protesnya membuat para pengelola pusat membebaskan kedua bersaudara itu pada tahun 1986.

Setahun kemudian, Park In-guen, yang mengelola Hyungje Bokjiwon, ditangkap. Pusat itu pada akhirnya ditutup. Setelah itu diketahui alasan penculikan itu. Konon, seluruh negeri dilanda euforia menjelang Asian Games 1986 dan Olimpiade Seoul 1988. Karena itu, pemerintah mulai memacu upaya-upaya membangun kembali citra negara itu, termasuk menyingkirkan orang-orang yang dianggap ‘merusak pemandangan’ di jalanan kota.


LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here