Review All Too Well: The Short Film, Patah Hati Terbesar Taylor Swift Dirangkum Dalam 14 Menit

Taylor Swift adalah pemenang Grammy 11 kali dan merupakan artis solo wanita pertama dan satu-satunya yang memenangkan Grammy untuk kategori Album Tahun Ini sebanyak 3 kali. Dia telah merilis 9 album studio orisinal, 2 album rekaman ulang, dan beberapa album live, extended, dan kompilasi. Daftar nominasi, kemenangan, dan penghargaan untuk musik dan dokumenternya hampir sepanjang daftar musik yang telah dia rilis. Selain menjadi penyanyi sekaligus penulis lagu, pelantun Enchanted ini juga seorang aktris yang aktingnya bisa dinikmati dalam film seperti Valentine’s Day, Cats, Miss Americana dan lainnya. Setelah perilisan film pendek pertamanya All Too Well: The Short Film, dia pun menambahkan profesi sutradara ke dalam daftar.

Berdasarkan lagunya All Too Well, yang dirilis di album Red pada bulan Oktober 2012, dan kemudian diluncurkan kembali dengan durasi sepanjang 10 menit lewat album Red (Taylor’s Version), film pendek berdurasi sekitar empat belas menit itu merinci awal dan akhir dari kisah cinta pasangan muda yang penuh gejolak dengan dibintangi Sadie Sink, Dylan O’Brien dan sang penyanyi sendiri.

Musik Taylor selalu menjadi jendela kehidupan pribadinya, sarana untuk menceritakan perpisahan, kejatuhan, dan sakit hati dengan cara yang sangat mendalam dan berhubungan. Sebuah ingatan yang dibuat dengan hati-hati yang menyisakan penyangkalan yang cukup masuk akal, sementara juga sangat mencolok. All Too Well: The Short Film, di sisi lain, tidak meninggalkan ruang untuk spekulasi. Sebagai tokoh utama pria, Dylan dengan sempurna mewujudkan jenis arogansi menawan yang dapat ditemukan dalam wawancara Jake Gyllenhaal, sementara karakter yang dimainkan Sadie menangkap karakter naif Taylor, dengan mengenakan turtleneck hitam klasik yang merupakan salah satu gaya pakaian ikonik sang artis dengan tampilan bibir merah yang begitu lazim selama era ini dalam hidupnya.

Taylor memungkinkan liriknya untuk membawa sepertiga pertama dari film, mencerminkan sentuhan romansa pertama dan awal cinta pertama yang indah. Pada adegan awal, pemirsa tidak melihat kesenjangan antara kedua tokoh utama. Akan tetapi ketika adegan berubah dan mereka duduk di meja makan dikelilingi oleh teman-teman Dylan yang jauh lebih tua, jelas terlihat betapa Sadie merasa bahwa dia berada tidak pada tempatnya.

Saat yang memberatkan dalam hubungan mereka tiba ketika Sadie berusaha meraih tangan Dylan mencari penguatan di tengah ketidaknyamanan yang dia rasakan, namun Dylan menepisnya dan membuat Sadie mempertanyakan pijakan hubungan mereka. Setelah pesta, musik memudar dan pasangan tersebut bertengkar karena insiden itu. Emosi Sadie diminimalkan saat gerakan berbicaranya berputar ke sekelilingnya, membuatnya merasa egois dan sedikit gila karena merasa terluka dengan cara Dylan memperlakukannya di hadapan teman-temannya. Taylor meninggalkan sedikit imajinasi, dengan terang-terangan menunjukkan tokoh Dylan melakukan gaslighting (bentuk manipulasi psikologis yang digunakan dalam hubungan untuk mempertahankan kendali atas orang lain) di depan kompor gas. Insiden tersebut tampaknya memiliki pengaruh besar dalam perkembangan musik Taylor selanjutnya, karena lagu terbarunya Champagne Problems menggunakan citra yang serupa.

Saat menonton All Too Well: The Short Film, perasaan yang timbul terasa mirip dengan film tahun 2019 Marriage Story karya Noah Baumbach yang dibintangi Scarlett Johannson dan Adam Driver. Emosi yang seperti menaiki rollercoaster dan sebuah teguran keras bahwa sulit untuk memperbaiki kapal yang tenggelam terasa beriringan. Sebuah paralel yang menarik untuk dilihat, mengingat fakta bahwa Noah memilih langsung Adam Driver untuk menggambarkan versi dirinya dalam film tersebut. Taylor juga meminjam gaya yang serupa, menjadikan dirinya sebagai penulis novel, daripada penulis lagu.

Taylor menggunakan beberapa komposisi adegan yang menakjubkan di sepanjang film, yang memperlihatkan kekontrasan antara emosi yang meningkat berlawanan dengan kepolosan lembut saat kedua karakter utama terbaring di tempat tidur. Begitu banyak hal juga dapat dikreditkan kepada sinematografer Rina Yang yang merekam film lewat kamera 35mm. Ia berhasil menangkap esensi dari All Too Well versi 10 menit yang memiliki rasa musim gugur yang sangat nyaman. Taylor dan Rina sukses menerjemahkan sensasi lagu tersebut dengan sempurna ke bentuk layar.

Setelah putus, tokoh utama perempuan duduk di depan mesin tiknya dan menyusun kembali kepingan hatinya yang hancur, untuk kemudian mengubahnya menjadi seni. Namun transisi dari karakter yang diperankan Sadie menuju usia yang lebih dewasa, dengan Taylor sebagai pemerannya benar – benar membuat kejutan yang mendebarkan. Dalam segmen Thirteen Years Gone, Taylor melangkah keluar dari balik tirai, terlihat matang dan siap menghadapi audiens pecinta buku yang menunggu untuk mendengarnya bicara tentang novel terbarunya.

Hal paling menggigit sebenarnya datang ketika terungkap bahwa sang tokoh utama pria berada di luar toko buku, melihat ke dalam melalui jendela, terpana pada kesuksesannya. Dan tentu saja, pria itu memakai syalnya. Momen pedih dan indah yang bisa diartikan dalam banyak hal. Apakah dia menyesal atas kesalahan yang dia lakukan? Apakah dia menyesal telah melepaskannya? Bagaimana perasaannya melihat sang mantan berkembang dan patah hati yang dia timbulkan memberi perempuan itu pengalaman untuk menulis novelnya dengan tepat berjudul All Too Well? Tidak ada yang penting karena dia tidak lagi menjadi bagian dari narasi dan Taylor memilih untuk tidak pernah menunjukkan wajah lebih tua pria tersebut. Walaupun di akhir kredit film, tertulis nama Jake Lyon sebagai pemeran karakter pria tersebut 13 tahun kemudian.

Film pendek ini dengan apik memadukan lirik yang diciptakan Taylor dengan paduan dialog yang sempurna, serta dibawakan oleh chemistry menawan antara Sadie dan Dylan. Keduanya sepenuhnya berubah menjadi peran mereka, membuat penonton terguncang dari pasang surut emosional yang ditampilkan. All Too Well: The Short Film terasa mentah, nyata, dan menggugah.

Dalam banyak hal, lewat film yang diarahkannya tersebut, secara tidak langsung Taylor menampar kritikan yang dia terima dari media saat itu, mengingat perbedaan usia antara dirinya dan Jake. Film ini adalah gambar yang cukup memberatkan tentang seorang pria yang jauh lebih tua melakukan gaslighting terhadap seorang wanita yang baru saja dewasa, mengambil kesuciannya dan membiarkannya hancur. Jika emosi yang disampaikan dalam pembuatan film merupakan sebuah pertanda, jelas hal ini merupakan luka tertoreh dengan dalam pada diri sang musisi.

Upaya pertama Taylor dalam pembuatan film menjadikan dirinya sebagai sosok sutradara yang harus diperhatikan. Dia telah menunjukkan kemampuan yang menjanjikan dengan membuat sejumlah video musik yang luar biasa, dan sekarang Taylor mencoba menulis dan menyutradarai film pendek. Kira – kira langkah jenius apalagi yang akan dilakukan seorang Taylor Swift? Mari kita tunggu gebrakan lainnya yuk Swifties, sambil menyaksikan All Too Well: The Short Film di bawah ini!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here