Menelusuri Akar Obsesi Kulit Putih Sebagai Standar Kecantikan Korea

single's inferno

Acara pencarian jodoh ala Korea yang dibesut Netflix, Single’s Inferno, dikecam karena komentar kontestan pria tentang warna kulit.

Semenjak kemunculan Squid Game yang menjadi sensasi global dan membuat banyak penduduk di seluruh belahan dunia tertarik untuk mengejar apa pun yang berbau konten Korea, Netflix meluncurkan produksi orisinal lainnya berupa tayangan ajang pencarian jodoh yang menampilkan sekelompok pria dan wanita lajang asal Korea Selatan yang sedang mencari cinta berjudul Single’s Inferno, dimana serial itu telah memicu perdebatan, mungkin karena semua alasan yang salah.

Acara realitas tentang kencan tersebut baru-baru ini menjadi subyek perselisihan di antara pemirsa di luar negeri atas komentar kontestan pria tentang peserta wanita, khususnya tentang warna kulitnya yang putih, sebagaimana dilansir melalui The Korea Herald.

Kontroversi, bagaimanapun, tampaknya berasal dari kombinasi dua faktor, yaitu kurangnya pemahaman tentang standar kecantikan tradisional Korea dan terjemahan yang kurang sempurna.

Dalam salah satu episode, para kontestan pria berkumpul setelah bertemu dengan rekan wanita mereka untuk pertama kalinya dan berbagi kesan pertama.

Para kontestas Single’s Inferno berkumpul untuk pertama kalinya

Komentar salah satu kontestan diterjemahkan sebagai “Dia sangat putih. Kesan pertama saya tentang dia adalah dia sangat putih, sangat putih.”

Kontestan lain menimpali dengan mengatakan, “Dia sangat putih. Saya menyukai seseorang dengan kulit putih.”

Kedua komentar tersebut memicu reaksi kemarahan dari pemirsa, dimana kontestan tersebut menerima kritik atas “obsesi” mereka dengan warna kulit. Seorang penonton berkomentar, “’Dia terlihat sangat putih dan murni’, kamu benar-benar mengikuti acara ini untuk ITU. Kamu seharusnya tinggal saja di kampung halamanmu. ”

Beberapa penonton mengatakan terjemahan dari komentar yang harus disalahkan.

Ketika komentar kontestan pria adalah pada seberapa cerah dan sempurnanya kulit kontestan wanita, beberapa mengatakan terjemahan bahasa Inggris dapat menyinggung rasisme atau warna kulit.

Sementara beberapa pemirsa bahkan mengambil kasus ini sebagai contoh orang Asia yang terobsesi terhadap orang kulit putih, memiliki kulit putih secara tradisional menjadi standar kecantikan sepanjang sejarah Korea, yang sejak lama menjadi masyarakat yang homogen.

Menurut sebuah webzine yang diterbitkan oleh Badan Administrasi Warisan Budaya Korea Selatan, sejarah preferensi orang Korea terhadap warna “kulit putih” sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu.

Sebuah mural yang ditemukan di makam-makam Kerajaan Goguryeo (37 SM-668 M), seperti yang ada di Makam Susan-ri di Korea Utara yang terdaftar sebagai Warisan Budaya Dunia, menggambarkan penampilan bangsawan pada era tersebut dengan menonjolkan kulit putih pucat dan dilihat sebagai bagian dari riasan khas zaman itu.

Dalam cerita rakyat “Kisah Chunhyang”, pria yang disukai tokoh protagonis Chunhyang, Mongryong, merias wajahnya agar terlihat lebih putih sebelum bertemu dengannya, dimana hal itu menunjukkan bahwa kulit putih lebih disukai sejak abad ke-17.

Jeong Yak Yong, seorang cendekiawan abad ke-18, dan sebagian besar orang lainnya dari zaman itu, menunjukkan catatan bahwa mereka dinilai “tampan” jika dikatakan memiliki “kulit putih”.

Di antara kaum Barat, itu adalah cerita yang berbeda. Orang Belanda Hendrick Hamel, salah satu dari sedikit orang Barat yang diketahui telah mendarat di Semenanjung Korea, menghabiskan 13 tahun di Joseon abad ke-17 untuk menulis laporan rinci tentang negara tersebut. Dia menulis bahwa orang Joseon mengira dia terlihat seperti monster.

Sementara orang Kaukasia secara tradisional digambarkan sebagai orang kulit putih, catatan menunjukkan bahwa orang Asia Timur tidak menganggap mereka memiliki kulit putih. Selama Dinasti Yuan, didirikan oleh bangsa Mongolia dan menduduki sebagian besar wilayah Tiongkok, orang Barat disebut “saekmok-in“, yang secara langsung diterjemahkan menjadi “orang-orang dengan mata berwarna” tetapi dalam praktiknya berarti “berbagai kategori”. Sebagian besar merujuk pada orang Semu, dari Asia Tengah dan Barat.

Hamel juga menulis bahwa di Joseon, orang Barat disebut “myeon-cheol,” yang secara langsung diterjemahkan sebagai “wajah besi” dan dalam praktiknya digunakan untuk merujuk pada wajah kemerahan.

Sementara preferensi terhadap kulit putih atau pucat sudah ada sejak berabad-abad yang lalu, tidak jelas persis mengapa demikian. Yang jelas hal tersebut tidak datang dari Barat, karena terjadi jauh sebelum periode ketika orang Kaukasia terlihat keberadaannya di negara ginseng tersebut. Tetapi kebanyakan orang percaya bahwa karena Semenanjung Korea memiliki ekonomi berbasis pertanian sepanjang sejarahnya, bangsawan dan orang kaya terhindar dari beban kerja sehari-hari di bawah terik matahari, sehingga kulit putih pucat dianggap sebagai simbol kekayaan

“Kulit putih dan mengkilap melambangkan kelas atas, yang memotivasi orang, baik pria maupun wanita, untuk menjadikan kulit mereka lebih putih. Ini ditunjukkan melalui preferensi nenek moyang kita untuk mandi atau penggunaan produk kosmetik yang menggunakan bahan-bahan alami, ”tulis lembaga milik negara ginseng itu.

Kembali ke serial Single’s Inferno, beberapa pemirsa Korea merasa aneh bahwa pemirsa luar negeri sangat tersinggung oleh komentar tentang warna kulit yang putih, terutama ketika ada adegan lain di mana salah satu peserta memuji seseorang dengan kulit kecokelatan.

“Wow, mereka benar-benar tidak menghargai preferensi pribadi,” tulis seorang penonton. Yang lain berkata, “Kulit putih telah menjadi standar kecantikan selama berabad-abad di negara kita, tentang apa ini? Apa ‘orang kulit putih’?”

Beberapa mengatakan kontroversi terbaru menunjukkan risiko yang terlibat dalam mengekspor produk budaya. Karena perbedaan perspektif dan latar belakang audiens, produk tersebut dapat mengundang persepsi negatif.

Dalam masyarakat homogen seperti Korea untuk waktu yang lama, mengomentari warna kulit seseorang mungkin bukan masalah rasial yang sensitif, mengesampingkan pertanyaan tentang penampilan. Namun saat menyajikannya kepada penonton global, pemirsa mengatakan bahwa pembuat konten harus lebih sensitif. Terutama karena Korea juga telah menjadi lebih multikultural.

“Banyak (kontroversi) yang bisa diselesaikan, jika ada yang peduli dengan penonton Barat dan masalah mereka,” kata salah seorang penonton.

Bagaimana menurut kalian tentang kontroversi yang membayangi acara realita Single’s Inferno? Jangan lupa membagikan pendapatmu di kolom komentar di bawah ini!

Selain itu kamu bisa menyaksikan trailer-nya di sini!

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here