Kisah Leslie Cheung: Jatuh Bangun Sang Mega Bintang, Selamanya Terhubung Dengan Hong Kong

leslie cheung
Sumber foto: Instagram @lesliecheungmylove
Leslie Cheung merupakan sosok yang tiada duanya. Aktor pemenang penghargaan, bintang pop sukses dan seorang ikon gay yang pemberani. Hanya sedikit individu yang dapat memberikan pengaruh besar pada budaya seperti yang dilakukan Cheung di Hong Kong dan diaspora Tiongkok yang lebih luas.

Kepergiannya yang terlalu dini, pada tanggal 1 April 2003, memicu semacam kejutan dan kesedihan yang diasosiasikan seperti kematian Putri Diana pada tahun 1997, dimana keduanya menjadi simbol peninggalan budaya di berbagai belahan dunia.

Pentingnya Cheung untuk memori budaya Hong Kong kontemporer tidak berlebihan. Bagi banyak orang, kematiannya seakan menandai akhir, atau setidaknya awal dari akhir, Hong Kong versi “lama”.

Leslie Cheung tampil dalam film Happy Together yang dianggap sebagai salah satu film LGBTQ+ terbaik dalam gerakan New Queer Cinema, mengukuhkan namanya sebagai ikon gay / Sumber foto: Block 2 Pictures

Tahun 2003, kota yang pernah menjadi bagian Kerajaan Inggris itu tidak hanya diguncang pandemi SARS, tetapi juga protes massa terhadap pengenaan Pasal 23 Undang-Undang Dasar. Peristiwa tahun itu menyebabkan warga Hong Kong kehilangan kepercayaan luas pada integritas pemerintah daerah, sementara pemerintah pusat kehilangan harapan dalam keyakinan bahwa Hong Kong sebagai salah satu daerah administrasi khusus akan berbaris sejalan dengan seluruh Tiongkok.

Kekecewaan bercokol di kedua belah pihak, yang akhirnya berpuncak pada protes RUU anti-ekstradisi Hong Kong pada tahun 2019 dan pengenaan Undang-Undang Keamanan Nasional berikutnya oleh Beijing pada tahun 2020.

Untuk memahami sepenuhnya betapa pentingnya Cheung bagi Hong Kong, cerita harus kembali ke awal. Ketika dia lahir pada tahun 1956, Hong Kong bukanlah yang akan menjadi permata terakhir dari Kerajaan Inggris. Pada masa itu, Singapura masih menjadi jajahan Inggris dan kota para imigran Tiongkok itulah yang selalu menjadi tumpuan imperium Inggris di Asia Timur.

Pendudukan Jepang di Hong Kong pada tahun 1941 memang mengecewakan Inggris, tetapi jatuhnya Singapura beberapa bulan kemudian yang disebut sebagai “bencana terburuk dan penyerahan terbesar dalam sejarah Inggris” oleh Winston Churchill.

Hong Kong saat itu tidak terlalu penting. Cheung pun muncul dari latar belakang sederhana. Ayahnya adalah seorang penjahit yang telah membuat pakaian untuk orang-orang terkenal seperti Alfred Hitchcock dan Marlon Brando.

Ikatan kolonial Hong Kong sangat kuat pada masa itu, membuat pria bernama asli Cheung Fat Chung tersebut dikirim untuk belajar di Inggris ketika berusia 12 tahun. Dia bersekolah di Norwich School di Norfolk, di mana sang bintang tidak hanya berteman, tetapi juga mengalami diskriminasi rasial. Di sinilah akhirnya dia membuat pilihan nama Inggrisnya, Leslie, dan mulai bernyanyi secara amatir.

Setelahnya, Cheung menghabiskan waktu satu tahun untuk belajar manajemen tekstil di Universitas Leeds sebelum kembali ke Hong Kong, yang berubah dengan cepat dan bahkan saat ini menjadi salah satu kota termahal di dunia.

Tidak ada lagi hari-hari dimana “made in Hong Kong” merupakan barang murah berkat pemikiran reformasi pemerintahan kolonial, yang ingin memperbaiki ketidakpuasan yang memicu kerusuhan pada tahun 1967, meletakkan dasar bagi kemakmuran wilayah itu di masa depan.

Di tengah suasana inilah Leslie Cheung dan Hong Kong akan menandakan awal kejayaan mereka. Setelah berhasil menjadi runner-up di Kontes Menyanyi Asia RTV 1977, Cheung menandatangani kontrak dengan Polydor Records. Namun, dia dicemooh di luar panggung saat tampil di panggung publik perdananya dan tiga album pertamanya menghasilkan penjualan yang mengecewakan sehingga Polydor memutuskan kontraknya.

Penampilan panggung Leslie Cheung selalu penuh totalitas / Sumber foto: Pinterest

Cheung menggambarkan tahun-tahun awalnya dalam dunia hiburan sebagai “penuh keputusasaan dan rintangan”, tetapi dia bangkit kembali pada tahun 1982 dengan single hit pertamanya, The Wind Blows On.

Pada tahun 50-an dan 60-an, penonton Hong Kong biasanya lebih menyukai lagu-lagu Barat atau opera tradisional Kanton. Namun pada tahun 70-an, Sam Hui dan Roman Tam, secara khusus membantu mendirikan industri cantopop di Hong Kong, sebuah upaya yang didukung oleh popularitas film The House of 72 Tenants (1973), film penting yang membantu bahasa Kanton menggantikan bahasa Mandarin dalam perfilman Hong Kong.

Cheung berada di tempat yang tepat pada waktu yang tepat untuk melanjutkan pekerjaan para leluhurnya. The Wind Blows On adalah kelahiran kembali karier musiknya yang membuat sang bintang merilis lebih dari 40 album dan mendapatkan banyak penghargaan termasuk berbagai rekor penjualan platinum dan 33 pertunjukan yang terjual habis secara berturut-turut di Hong Kong Coliseum pada tahun 1989.

Ini adalah zaman keemasan cantopop ketika Cheung dan bintang-bintang seperti Anita Mui (dikenal sebagai “Madonna dari Asia”), Jacky Cheung dan Andy Lau juga mulai mendominasi pertunjukan.

Leslie Cheung dan sahabatnya bintang kenamaan Anita Mui yang telah berpulang ke pangkuan Ilahi. Hong Kong pun kian meredup bersamaan dengan meninggalnya kedua ikon kota tersebut / Sumber foto: Instagram @lesliecheung_gorgor4ever

Seiring kemakmuran Hong Kong yang meningkat, semakin banyak warga yang mampu membeli radio dan walkman untuk mendengarkan artis favorit mereka. Dan ketika Tiongkok mulai membuka diri ke seluruh dunia, warga Hong Kong membawa cantopop bersama mereka ke daratan. Saat karaoke berpindah dari Jepang ke seluruh Asia Timur, cantopop pun menyebar, dengan Cheung berada di garis depan.

Sinema Hong Kong pun mencapai puncaknya, bersamaan dengan kesuksesan Cheung sendiri. Bruce Lee dan Jackie Chan juga sukses menempatkan film seni bela diri Hong Kong pada peta hiburan dunia pada saat Cheung mendapat peran yang makin mendongkrak popularitasnya dalam film hits John Woo, A Better Tomorrow (1986). Namun, penampilan luar biasa Cheung sempat menjadi cemoohan karena dianggap terlalu berkiblat ke Barat.

Leslie Cheung beradu akting dengan Chow Yun Fat (kiri) dalam film A Better Tomorrow (1986) / Sumber foto: Pinterest

Cheung pun memutarbalikkan mata khalayak dengan penampilan akting menawan dalam film Chen Kaige Farewell, My Concubine (1992), yang memenangkan penghargaan Palme d’Or di Festival Film Cannes 1993, satu-satunya film Hong Kong yang memenangkan penghargaan tersebut, dan tetap menjadi salah satu dari hanya tiga film Hong Kong selama lebih dari 60 tahun yang pernah dinominasikan untuk Academy Award.

Kolaborasi sang aktor dengan sutradara kenamamaan Wong Kar Wai disepanjang tahun 1990-an lewat film seperti Days of Being Wild, Ashes of Time dan Happy Together, membawa film-film lokal ke level tertinggi, yang sebelumnya kurang di mata internasional.

Dengan berpulangnya Cheung, Hong Kong versi “lama” pun berlalu bersamanya. Popularitas cantopop menurun, terluka parah oleh kematian dini dari kedua bintang terbesarnya pada tahun 2003, Cheung dan Mui, yang diperparah dengan masuknya musik Kpop tanpa henti dari Korea Selatan.

Sinema Hong Kong juga mengalami penurunan permanen. Dirilis setahun sebelum kematian Cheung, Infernal Affairs bisa dibilang sebagai film Hong Kong hebat terakhir yang bergema secara internasional. Sinar kota ini sendiri pada akhirnya mulai menurun bersamaan dengan suasana politik lokal yang semakin kontroversial dan perekonomian yang tidak bergerak.

Pada akhirnya Cheung akan selalu menjadi bagian yang terbaik dari Hong Kong lewat tahun-tahun kejayaannya yang terhubung dengan masa keemasan kota tersebut. Saat kebintangan Cheung naik, begitu pula Hong Kong, dan saat kebintangannya tiba-tiba padam, tempat yang menjadi rumahnya pun mulai memudar.

(Berbagai Sumber)

2 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here