[Fiksi] ASA DI BATAS PENANTIAN

Samar-samar suara lantunan piano terdengar dari Vila Kertarejasa. Sebuah vila bertingkat bewarna krem, milik keluarga Kertarejasa, cukup besar, dan disekelilingi perkebunan yang tampak terawat. Di hari-hari biasa, vila itu memang sepi.Namun di saat weekend selalu ada satu pengunjung tetap, yang senantiasa menghabiskan waktu di sana untuk menulis. Nada demi nada terus mengalir dalam dinamika lembut. Bagi yang mendengar, nada-nada yang melantun seolah mencerminkan kesedihan, siapapun pemainnya…
“Mungkin aku terlalu mencintai Rangga ….”, ucap Marsha di sela jari-jari yang terus menari lincah di atas tuts hitam dan putih.
“Tapi apa dia mencintaimu, Sha. Memikirkan sedikit saja perasaanmu nggak. Dia membutuhkanmu, hanya ketika dia menginginkannya.”
Hati Marsha sekali lagi teriris mendengar pernyataan Bima, yang diakui sendiri kebenarannya, “Aku tau, Mas Bima. Aku tau…”
“Terus, kenapa kamu masih memikirkan, dan memendam perasaan untuknya…”
Marsha tersenyum getir. Semilir angin memasuki ruangan, meniup rambut, hingga beberapa helai menyapu simpul lesung pipitnya. Ia menatap Bima beberapa saat dengan sorot mata sendu, “Aku akan berhenti…”
Bima tertawa kecil begitu mendengar pernyataan Marsha, dan membuang pandangan ke arah balkon, seolah-olah tak percaya kalau Marsha, yang dikenalnya sejak kecil itu, benar-benar dapat melupakan Rangga. “O,ya. Bagaimana kamu akan melakukannya?”
“Aku akan pergi.” Jawab Marsha datar.
“Pergi kemana?”
“menjemput mimpi.”
“Mimpi kamu dimana?” Sekali lagi Bima tertawa, hingga semburat merah mewarnai kedua pipinya. “Yakin? Bukannya kalian punya mimpi sama? Gimana bisa melupakan kalau masih di jalan yang sama?”
Lagi-lagi, dalam hati Ia membenarkan perkataan Bima. Teringat kembali dalam buaian melodinya, sepulang kuliah dulu, Ia dan Rangga sering menghabiskan waktu di kantin hanya untuk saling mendengar cerita masing-masing. Tentang impian Rangga yang ingin memiliki majalah sendiri, tentang tulisan-tulisannya yang pernah dimuat di surat kabar lokal, ataupun sekedar tulisan-tulisan berisi pelampiasan akan rasa sentimen atau tidak puas atas satu isu sosial. Demikian juga dirinya, yang seringkali meminta pendapat Rangga atas artikel-artikel yang ditulis untuk buletin mingguan jurusan. Lama dan panjang rasanya kalau sudah membahas satu topik dengannya, belum lagi kalau dapat bonus celaan-celaan dari sosok angkuh yang selalu berlagak bak PEMRED itu. “Yah, Cuma segini aja kemampuan loe? Yang lebih berbobot lah lain kali…”, celetuknya dengan cuek. “Nggak berbobot, Nggak berbobot. Tapi ngajakin buat majalah bareng …gimana sih pak Pemred?” … Hhmmm… masa-masa itu, sudah lama berlalu. Di akhir semester, pembicaraan-pembicaraan itu hampir tak pernah ada, bahkan sosoknya –pun tiba-tiba menghilang. Pergi bersama Mira. Sibuk dengan urusan-urusan Mira. Dan meninggalkannya sendiri… seperti waktu itu…
Menit demi menit Marsha menunggu dengan cemas di teras rumah. Rangga yang katanya mau menjemput dan menemaninya mewawancarai Ade Armando tak kunjung datang juga. Padahal Bang Ade, ketua juruasan D3 komunikasi FISIP UI, yang juga pengurus Komisi Penyiaran Indonesia itu cukup sibuk dan ketat dengan waktu. Kalau saja Pak Ujang, nggak ijin hari itu karena sakit, dari tadi Ia pasti sudah diantar, tanpa harus menunggu Rangga.
“Belum jalan juga Sha?”, Bima yang baru akan keluar menegurnya. Marsha hanya menggeleng seraya menengok jam tangannya. “Rangga nggak datang-datang nih, Mas. Duh, gimana ya.”
Bima menekan automatic key lock mobilnya. “Ditelpon dong.”, Ucapnya.
“Sudah. Nggak diangkat-angkat.”, Jawab Marsha hampir pasrah.
Bima menghela nafas. Sekilas Ia melirik jam tangan. Lalu seperti berpikir sebentar. “Ya sudah. Ayo, aku antar.”, Ucap Bima akhirnya.
“Mas Bi kan mau ke Gagas Media… nggak telat ntar?”
“Mudah-mudahan nggak. Ya sudah, ayo.”, ajak Bima
Lima belas menit kemudian, dalam perjalanan menuju UI, HP Marsha berbunyi. Sebuah SMS masuk…
1 New Message. Dibukanya pesan tersebut. Dari Rangga…
SORI SHA. GW NGGAK BISA JEMPUT LOE. ADA URUSAN MENDADAK NIH. SORI, YA. SAMPAI KETEMU DI KAMPUS.
Tapi berkat Mas Bima, sempat juga ia mengejar Bang Ade. Coba kalau menunggu Rangga, bisa-bisa dia berakhir dimarahin Dirga, kordinator liputan buletin. Huh, Rangga! Anak itu memang suka seenaknya dan sering kali ingkar janji. Dimana ya dia sekarang? Baru saja, ia meraih Hape sambil jalan ke arah taman korea, matanya terpaku pada dua orang yang tengah berbincang-bincang begitu mesra di antara keramaian anak-anak lain di kantin. Sorot matanya perlahan melemah melihat mereka, langkahnya terhenti. Tiba-tiba ada rasa sakit yang menyerang hatinya. Beberapa detik Ia tertahan di tempat. Hingga akhirnya Ia memilih untuk berpaling. Meninggalkan apa yang dilihatnya di tempat, tanpa meminta penjelasan. Sekalipun Ia benar-benar merasa kecewa dan sendiri…

Nocturne in E-Flat Major gubahan Chopin yang mengalun sendu di bawah tarian jari-jari lentik Marsha melambat, membawanya kembali dari kenangan di masa kuliah dulu, dan segera menanggapi pertanyaan Bima tadi.
“Nggak lagi. Dia udah meninggalkan Mimpi nya demi Mira.”, . “Aku masih pada jalanku, dan aku akan kesana dengan atau tanpanya.” Satu nada tinggi terhenti, hingga akhirnya tuts-tuts putih itu kembali bermain lirih. Terbetik setitik kekecewaan, ketika Ia menyebutkan kebenaran bahwa Rangga hampir meninggalkan impiannya. Di dalam hati masih tersisa keinginan, agar Rangga tetap mewujudkan impian, bersama dirinya. Namun Ia tahu kemungkinan itu sudah kian menipis, dan Ia tidak mau lagi terseret lebih jauh dalam dilemma percintaan yang terlalu berat sebelah ini. “Yah, kemana lagi aku akan pergi, Mas? Kepada mimpi ku, kurasa. Hanya itu yang bisa membuatku kuat dan melupakannya.”, akhirnya Marsha memantapkan hati dan pikiran. Serentetan nada akhir yang terdengar melankolis menutup lantunan melodi favoritnya. Jari-jari lentik itu terangkat dari piano. Ditutupnya ‘Clavinova’ yang selalu setia menemani Bima di Vila.
Marsha beranjak, menyusul Bima yang tengah menyandarkan tubuhnya di besi balkon. Ia pun melakukan hal yang sama. Meletakkan kedua tangannya di besi balkon dan membiarkan dirinya diterpa angin sejuk dalam satu keheningan.
Bima menoleh sekilas ke arah Marsha dengan tatapan cukup prihatin. Ia tahu betul makna keheningan itu dan bagaimana sesungguhnya perasaan Marsha. Bima bergeser mendekati Marsha. Tangan kirinya masih menopang pada besi balkon, dan tangan kananya tiba-tiba bergerak merapikan dan membelai poni Marsha yang tertiup angin. Seketika itu juga, Marsha serasa tersengat getaran asing yang membuat relung hatinya terkejut. Bukan karena sentuhan Bima, tapi karena cara itu… cara Bima merapikan, dan membelai poni rambutnya,… mengingatkannya pada kebiasaan Rangga. Kebiasaan Rangga yang sering memainkan rambut dan merapikan poni untuknya.
“Sha. Coba relakan saja.”, Ucap Bima seraya menatap tajam dan menepuk kedua bahu Marsha, seolah-olah seperti memberikan kekuatan.
Marsha kembali menatapnya dalam-dalam, hingga akhirnya Ia menghela nafas, dan hanya mengangguk ringan. Cepat-cepat Ia kemudian membuang pandangannya, seolah-olah ada sesuatu yang masih disembunyikan, dan tak ingin sampai diketahui oleh Bima. Namun, tak lama, Marsha tersenyum. Melepaskan pandangannya, jauh menerawang ke hamparan perkebunan di sekeliling vila. “Mas Bi… coba yang kucintai itu Mas Bi… mungkin nggak akan seperti ini… ya kan?”, ujarnya sambil membuang tawa kecil.
Bima Kertarejasa. Mas Bima. Orang yang telah dikenalnya selama 13 tahun, sejak Ia diangkat di usia 10 tahun dan menginjakkan kaki di kediaman keluarga besar Kertarejasa. Sejak itu pula, pria yang terpaut usia 3 tahun dengannya ini telah mengisi hari-harinya…
Mengisi peran kakak, sahabat, juga guru dalam kehidupannya…
Bima yang lihai memainkan jari-jarinya di atas tuts hitam dan putih itu, yang akhirnya mampu mendorongnya bisa bermain piano…
Bima yang selau menghasilkan karya-karya romantik adalah figur yang telah membuatnya mencintai dunia tulis menulis …
Bima, yang sejak kecil, selalu memberikan sekotak cokelat kegemarannya di pagi hari
Bima, yang selalu ada untuknya ketika dia menangis… dari kecil hingga beranjak dewasa…

Sekali lagi senyum Bima mengembang. Ia menatap Marsha, seperti Ia menatap gadis kecil yang lugu. Tangan kanannya memegang kepala Marsha, tepat seperti Ia memegang kepala seorang anak kecil, dan mengusap-ngusapnya, “Sha… Sha… kamu masih suka mikir yang nggak-nggak. Kebanyakan menghayal kamu ya.”, ujar Bima menggelengkan kepala seraya membuang tawa ringan. Pandangannya tidak lagi pada Marsha. Tapi pada sendunya suasana sore itu, dimana burung-burung terbang menjauh di batas cakrawala, kembali ke peraduannya masing-masing. Di saat cahaya mentari-pun meredup, berganti dengan remangnya senja.
Diantara keheningan itu, dengan suara yang lirih Marsha mengulang pertanyaannya,
“Ya kan Mas Bi?… nggak akan seperti ini?”, tanyanya seperti anak kecil yang menuntut kepastian dari orang tuanya. Membuat Bima yang telah melayangkan pandangan diantara batas-batas remangnya senja, menoleh kembali pada Marsha. Sorot matanya tampak ragu dan gamang. Entah apa yang harus Ia jawab. Apa yang ingin diucapkan, tak semudah apa yang mungkin dirasakan dalam hati dan pikiran. Terlalu banyak pertimbangan yang mungkin harus dilaluinya untuk dapat sekedar menjawab.
Sementara asa masih membayangi kedua sorot mata Marsha, menanti jawaban, yang entah mengapa sore itu terasa akan amat berarti baginya. Tapi mulut Bima masih terkunci, batinnya pun masih bergolak, ada satu kebenaran yang rasanya tak mungkin terungkap ke permukaan.
Bagaimana Ia harus menjawab? Hanya sekedar Iya? Karena Iya bukanlah sekedar Iya baginya.
Ia memang menyayangi Marsha.
Dan sesungguhnya ingin selalu berada di hati Marsha. Tapi bagaimana pertunangannya dengan Claudia?…, keluarganya…, apa kata keluarganya nanti? … tidak mungkin Ia memutuskan pertunangan begitu saja, dan mengabaikan gadis pilihan ibunya. Claudia, putri dari sahabat ibunya yang pengusaha, dan telah dikenal sejak bangku SMA itu adalah gadis baik-baik, sederhana, penuh pengertian, yang tak mungkin bisa mendadak ditinggal begitu saja. Pasti akan sakit dan memalukan bagi Claudia, yang memang Ia tahu sangat mencintai dirinya. Tidak! Ia tak pernah mau menyakiti wanita, haram hukumnya. Dan yang lebih penting , keputusan seperti itu pasti bisa mengecewakan hati ibu dan kedua belah pihak keluarga.
Sorot mata Marsha melemah, “Mas Bi pun nggak bisa menjawab. Setragis itukah aku dalam dunia percintaan ini, Mas?”, ucapnya datar.
Pernyataan itu, sorot mata itu, kerapuhan jiwa itu, membuat Bima tersiksa melihatnya. Dorongan dan gejolak dalam hatinya untuk menyudahi semua kesedihan gadis yang disayanginya semakin mendalam. ‘Sha… Kamu nggak seperti apa yang kamu pikirkan. Kamu akan mendapatkan kebahagiaanmu, sebentar lagi…’
Dan terbayang dalam ingatannya, hari-hari yang selalu dipenuhi oleh Marsha …
Marsha yang cengeng…
yang sering sekali jatuh kalau main tak’ jongkok dan kerap kali menangis kalau luka…
Marsha dan piano…
yang sering panik kalau tiba waktunya les. Untuk itu sehari sebelum les, ia selalu minta waktu untuk diajari olehnya…
Marsha dan cinta pertamanya…
yang merengek agar dibuatkan sebuah surat cinta olehnya. Dan Ia pula yang harus memberikan surat itu pada cowok di kelas II B SMP ANGKASA…
Marsha yang tiap kali putus cinta sewaktu SMA, akan mencari, menunggunya, dan menangis di bahunya,…
Semakin dalam pikirannya hanyut dalam sosok Marsha, semakin dalam pula sakit yang Ia rasakan dalam relung hati. Seolah-olah Ia tak kuasa lagi menahan semua pergolakkan batin itu, hingga ujung pangkal lehernya serasa tercekat dan mata pun terasa mulai basah…
“Mas Bi?…”, Marsha menatap Bima hampir keheranan. Ia tak mengerti mengapa ekspresi Bima tiba-tiba begitu sendu, dan gamang, seolah-olah menyimpan sesuatu yang begitu pahit dan menyakitkan. Seperti ingin bicara sesuatu, namun juga tak punya cukup kekuatan untuk bicara.
“Mas… Mas Bim…”, Belum lagi Marsha selesai mengucapkan nama BIMA, bagai kecepatan cahaya, tiba-tiba, Bima sudah merengkuhnya dengan kedua tangan yang kokoh ke dalam pelukan. Mendekap erat-erat. Begitu erat, seperti takut kehilangan Marsha.
Kesenduan Marsha –pun tertumbuk pada bahu kekar yang selama ini setia menerima tumpahan air matanya. Sesaat terkejut, namun keterkejutan itu pun segera berganti dengan rasa nyaman dan lega. Yah… Ia selalu merasa nyaman dalam dekapan Bima. Tapi dekapan kali ini… sedikit berbeda. Dekapan ini serasa begitu mengikat. Tersembul sebuah makna dan kekuatan yang tak dapat dijelaskan dalam dekapan Bima sore itu.
“Sha… kamu selalu memilikiku. Kamu tau itu kan? Mas Bi selalu ada untuk kamu”, Suara Bima terasa dalam dan begitu hangat. Membuat dirinya tiba-tiba bergetar, tanpa disadari.
Dan getaran-getaran asing lain tiba-tiba mulai menjalari dirinya perlahan-lahan, begitu lembut bagai kelopak-kelopak bunga yang berjatuhan.
Akal sehat Marsha sesungguhnya bingung akan kondisi yang tiba-tiba dihadapi dan dirasakan ini, namun hatinya malah serasa bermain di atas awan dan menuntut pelukan serta kasih sayang lebih dari seorang BIMA.
Semua membingungkan baginya. Dan belum sempat Ia mendefinisikan kebingungan itu, dalam sekejap, Bima melepaskan pelukannya dalam satu hentakan kilat yang tak kalah mengejutkan seperti ketika Bima memeluknya tadi. Bima segera menoleh ke arah samping mereka, dengan mata hampir membasah.
Dari sana terdengar suara ringan seorang laki-laki …
“Sha… Bim…”
Sosok jangkung, putih, dengan roman wajah yang angkuh muncul di sudut ruangan, menatap tajam pada Bima dan Marsha yang tampak terkejut di balkon …
“Ra… Rangga…”, Marsha terpaku hampir tak percaya
“Ga! …”, Suara berat Bima menyapa Rangga dengan sedikit terkejut. Seolah-olah hampir tak percaya laki-laki itu akhirnya datang juga. Kedua tangannya kemudian Ia masukkan ke saku celana khakis. Dan perlahan beringsut menjauhi Marsha
Marsha menoleh sekilas ke arah Bima. Bima kembali menatapnya dengan tatapan yang seolah-olah telah merelakan sesuatu, lalu Ia melayangkan pandangan pada Rangga, menatap tepat ke dalam kedua bola matanya, menunduk, dan berlalu begitu saja dari hadapan mereka berdua.
“Ada apa, Ga?”, Tanya Marsha datar. Ada perasaan terkejut, senang, karena melihatnya lagi, tapi juga sekaligus sakit, karena cinta yang tak pernah berlabuh di hati laki-laki itu
“Nggak disini. Bisa kita ngomong diluar aja?”, tuntut Rangga. Ekspresinya menununjukkan ada sesuatu yang sangat penting dan pribadi yang perlu diungkapkan. Dan itu tampak sangat mendesak…
Rangga…
Sejak wisuda, berminggu-minggu yang lalu… Ia telah menghilang dari hadapanku…
Tiba-tiba sekarang Ia datang lagi dengan kecemasan seperti ini …
Ada apa lagi?…
Masalah dengan Mira? Dan meminta pertolongan seperti biasanya…
Atau masalah kelurganya? …
Rangga dan masalah-masalahnya… memang selalu bisa menyita hati, pikiran, dan waktuku…
“Pliss… 5 menit aja. Gue Cuma butuh 5 menit dari waktu loe.”, ucap Rangga sekali lagi meyakinkannya.

“Kalau Cuma 5 menit aja, ngapain harus di luar, Ga?”
Rangga tak menggubrisnya, Ia hanya menarik tangan Marsha dengan tak sabar dan langsung menyeretnya pergi.
Sepasang mata diam-diam mengamati keduanya pergi meninggalkan vila dari balik jendela kayu di lantai 2. Bersamaan dengan perginya sosok Marsha dan Rangga, terlukis pula sekelumit senyum datar di wajah Bima kemudian. ‘Jika bersama Rangga, memang yang sangat diinginkan dan mampu membuat Marsha bahagia, maka semoga caranya ini bisa membuat mereka bersatu’, pikirnya.
Setelah menghela nafas cukup panjang, Ia menjauhi jendela beserta cinta dan harapan tulusnya. Dibuka kembali laptop, yang sudah menganggur dari sore tadi. Ia mulai berpikir, dan meneruskan kalimat-kalimat pada layar laptopnya. Sesekali terdiam, menelaah sesuatu, sembari matanya sesekali menyapu sekeliling ruangan. Tatapannya terhenti pada satu titik. Sebuah tempat obat yang tak jauh darinya. Dan kemudian pandangannya beralih ke sebuah tas kulit hitam yang terdiam di sofa. Seketika ia mengernyitkan dahinya. Perangkat obat asma itu masih pada tempatnya. Dan tas Marsha, yang selalu berisi salah satu dari obat asmanya tertinggal di sofa, karena kepergiannya yang mendadak tadi. Bricanyl inhaler itu tak pernah mungkin jauh dari pemiliknya. Apalagi di tempat bercuaca dingin seperti ini. Marsha mengidap asma dari kecil, dan obat-obat pereda kambuhnya selalu dibawa kemanapun ia pergi. Namun tadi ia pergi buru-buru, tasnya –pun tertinggal. Otomatis rasa khawatir dalam sekejap menghinggapi pikiran Bima. Maka segera ia meraih HP -nya, dan menekan nama Marsha pada list phone book. kemana perginya anak itu?? HP-nya sama sekali tak terangkat. Tanpa menunggu lebih lama, secepat kilat ia meraih bricanyl dari tempat perangkat obat dan beranjak pergi dengan tergesa-gesa.


Rangga tidak berkata satu patah kata pun. Ia hanya membisu di balik kemudi. Meninggalkan Marsha dengan ocehannya
“Ga, sebenernya loe kenapa? Ada masalah lagi ya sama Mira?”
Rangga hanya menggeleng pelan. Tatapannya lurus ke depan, tangan kirinya memegang kendali kemudi, dan sebelah nya lagi memegang kepala. Ada sesuatu yang tengah bergolak dalam pikirannya. Apa lagi kalau bukan masalah Mira yang membuatnya jadi semuram ini? Tapi hanya karena masalah Mirakah hingga Ia sampai harus menyusul ke puncak?…
“Ga, loe kenapa lagi sama Mira?”, Tanya Marsha kesekian kalinya dengan penasaran.
Rangga masih membisu. Ia tampak seperti sedang memikirkan sesuatu. Dan karenanya Ia menjadi begitu gelisah…
“RANGGA ADITAMA. Apa yang bikin lo datang jauh-jauh ke puncak?? Mira lagi? Hehehe…”, Tanya Marsha seraya meledek. “Rangga… Rangga… dari jaman kuliah sampai selesai kuliah… Masih aja kayak ‘TOM n’ JERRY’”, celoteh Marsha.
Jika Rangga dan Mira bagaikan ‘TOM n’ JERRY’, maka beginilah Marsha, yang juga tak pernah menjadi dirinya sendiri di hadapan Rangga. Selalu seolah-olah menjadi wanita tegar yang penuh percaya diri, usil, dan murah hati. Padahal sesungguhnya Ia hanya gadis rapuh yang bertambah rapuh ketika virus cinta menggerogoti dirinya selama 4 tahun.
Rangga mengurangi kecepatan mobil, meminggirkannya ke kiri dan segera memarkir tepat di depan sebuah restoran.
“Ini bukan tentang MIRA atau Gue. Ini tentang loe, Sha.”, ujar Rangga memecah keheningannya sendiri.
DUG! Rasanya bagaikan kejatuhan BOM. Hingga Ia terdiam seketika. Tiba-tiba saja kini kecemasan menyerang dirinya! Apa yang telah dibuatnya? Adakah Ia berbuat salah pada Rangga? Hingga Ia begitu muram? Bahkan sampai menyusulnya ke sini?…
Udara dingin malam itu, membuat wajah Marsha yang putih tampak jadi pucat, dan bertambah pucat lagi dengan kepanikannya. Perlahan, diantara rintikan hujan yang mulai turun dan hembusan angin pegunungan, Marsha berbisik dalam hati, Tuhan… Semoga aku tidak berbuat salah terhadapnya …
Marsha terdiam. Tak kuasa mengeluarkan sepatah katapun. Ia hanya melangkah lemas, mengikuti langkah-langkah panjang Rangga dari belakang.
Mereka kemudian duduk saling berhadapan. Rangga tak banyak bicara. Namun gerak tubuhnya cukup mengungkapkan seribu kata, bahwa ada sesuatu yang benar-benar mengganggu hatinya dan apapun itu berkaitan dengan Marsha. Ia-pun masih membisu, hingga pelayan restoran itu selesai mengantar minuman mereka.
Rangga menyalakan pemantik api, dan menyulut sebatang rokok yang sudah tersemat diantara bibirnya. Ia kemudian menghisap rokok itu dalam-dalam. Gelembung-gelembung asap yang keluar dari mulutnya, diusahakan agar tak mengenai Marsha langsung. Perlahan tapi pasti, kemudian Ia menaruh rokoknya dalam asbak, dan menggeser asbak menjauhi Marsha. Tangan kirinya diangkat dari bawah meja. Tampak sebuah buku agenda berwarna hitam, dan sebuah amplop panjang berwarna putih dalam genggamannya.
Seketika Mata Marsha terbelalak. Agenda itu. Kenapa agenda itu mirip sekali dengan miliknya, yang tiba-tiba saja menghilang beberapa hari lalu? Apa itu miliknya? Tapi kalau itu miliknya, bagaimana mungkin bisa ada di tangan Rangga saat ini?… Isi agenda itu? GAWAT!
“Benar semua yang ditulis disini?”, suara Rangga tiba-tiba terdengar sangat memojokkan. Serasa ada satu benda tajam yang tiba-tiba menusuk hati dan membebani diri Marsha begitu berat. Lama Marsha tak mampu menjawab. Ia hanya menunduk dan bingung.
“benar semua yang ditulis disini, Sha?”, Rangga mengulangi pertanyaannya dengan nada lebih menuntut.
Marsha memberanikan diri, mengangkat wajahnya perlahan-lahan, dan mencoba menatap Rangga. Mata Rangga yang sedikit sipit itu tengah menatap tajam pada dirinya. Mimiknya tampak begitu serius dan penuh dengan tuntutan.
“Sha. Jawab pertanyaan gue. Benar?”, Matanya tak melepaskan Marsha sedikitpun.
Marsha akhirnya mengangguk perlahan. “Maafin gue, Ga.”, Jawab Marsha pasrah.
Rangga tak berucap sepatah kata pun. Matanya hampir tak bergeming, lalu Ia menyodorkan sebuah amplop ke hadapan Marsha.
“Coba Baca, Sha. Ini juga benar?”
Marsha membuka sebuah amplop putih yang masih tampak rapih. Dengan perasaan berdebar-debar ia mencoba membuka lipatan kertas di dalamnya, dan memberanikan diri membaca perlahan-lahan goresan tinta hitam yang hampir menyerupai tulisan tangannya …
Rangga,
Mengungkapkan melalui tulisan mungkin lebih mudah,
Dari pada harus mengugkapkan dengan kata-kata…
Bertahun-tahun rahasia ini kusimpan sendiri.
Tapi kini semua sudah selesai
Dan seperti janjiku, kini mungkin saatnya untuk mengatakan
Bahwa satu-satunya orang yang selama ini kupedulikan
Kamu, teman baikku
Kamu -lah rahasiaku,
Semua sudah berlalu, kamu tidak perlu takut atau terkejut.
Tidak ada harapan atau tuntutan lebih setelah akhirnya kuharus mengungkapkan ini
Aku cuma mau kamu bahagia. Dan setidaknya kita masih tetap berteman. Cukup.
Temui aku, kalau memang masih mengganggapku teman.
Weekend ini, di vila.
Dan kita bisa ngobrol-ngobrol lagi seperti dulu,
Marsha.

Jantung Marsha serasa akan copot, begitu kalimat demi kalimat tersapu oleh matanya. Ia tahu betul siapa yang menulis semua itu. Seseorang yang memang selalu memperhatikan dan membantunya sejak ia kecil dulu. Dari masalah sekolah, rasa kesepian, hingga masalah percintaan masa remajanya. Dan tiba-tiba, bukan jantungnya saja yang serasa ingin melayang. Tapi lebih dari pada itu ada rasa perih yang menyelubungi ruang hati. Haru mencekat ujung kerongkongannya dan membuat sepasang mata syahdu itu berkaca-kaca. Ia melihat sekali lagi pada kertas putih yang digenggamnya, lalu menatap wajah Rangga dan mengalihkan pandangan kembali pada goresan-goresan kalimat itu lagi. Hingga akhirnya Ia tak tahu harus berkata apa lagi dan hanya menatap nanar pada Rangga dengan menggeleng pelan…
Ada satu sosok yang kini tiba-tiba menjadi beban hati dan pikiran Marsha. Sosok yang Ia kenal, yang telah menulis surat itu. Yang membuatnya bertemu dengan Rangga saat ini… Dan sekalipun Rangga kini ada di hadapannya… untuk pertama kali Ia merasa bahwa Rangga bukanlah prioritasnya lagi …
“Bukan loe?”, ujar Rangga memastikan. “Seperti dugaan gue. Marsha yang gue kenal nggak akan melakukan ini.”, dan Ia tertawa kecil, seperti mencemooh sesuatu.
“Tiga hari lalu. Bima datang ke rumah. Dia nggak cuma nyerahin agenda sama surat itu untuk gue baca. Tapi dia juga cerita semua tentang perasaan, pengorbanan loe. Dan itu semua membuat gue jadi kembali tersadar…”, Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali, tersenyum kecil, kemudian menghisap lagi rokoknya dengan tatapan yang seolah-olah tengah menerawang jauh ke masa silam.
“Gue nggak pernah nyangka. Sha…”, Ucap Rangga. “Pasti berat banget. Gue ngerti gimana rasanya.”, sambungnya dengan tatapan tertumbuk pada asbak rokok. Seolah-olah Ia tengah merasakan apa yang dirasakan Marsha. “Karena gue… pernah ngerasain hal yang sama. Jauh… sebelum ungkapan-ungkapan disini ada.”, tangannya menunjuk pada agenda hitam tadi.
Untuk pertama kali, Marsha mampu membuka matanya lebar-lebar, menatap tajam pada Rangga, tidak mengerti akan apa yang Ia bicarakan. Rangga yang selama 4 tahun telah membuat perasaannya bermain tak menentu. Membuatnya merasa disayang, dibutuhkan, dan juga sekaligus direndahkan, dan tak pernah sempurna di matanya, masih saja membuat dirinya dilanda kebingungan hingga detik ini…
Marsha tak berucap. Ia hanya menunggu penjelasan Rangga, dengan satu rasa penasaran sendiri…
“Kekaguman. Apa yang gue rasain awalnya, kekaguman. Perempuan ceria, dengan sejuta ide dan kreatifitas di kepalanya. Perempuan yang selalu bisa menandingi pemikiran-pemikiran gue. Yang selalu ngerti kebutuhan gue. Gue selalu ngerasa nyaman di deket lo, Sha… Yah,… walaupun loe tau sendiri…”, Tawa kecil menyelingi ucapan Rangga, terbayang dalam ingatannya Marsha dan dirinya yang dari awal pertemuan tak pernah luput dari adu mulut…
“Tapi hati ini nggak pernah berani jujur… karena… gue selalu ngira loe cuma nganggep gue teman, apalagi… seriiiing banget kita cek cok. Pelan-pelan gue berusaha mengubur rasa kekaguman itu, supaya nggak berkembang lebih dalam…”, kenang Rangga di sela-sela senyum kecilnya,
“dan… mengubur perasaan itu susah… gue pernah cerita secara nggak langsung, akan kekaguman itu sama Mira. Dia pernah cerita?”
Marsha hanya bisa menggeleng. Batinnya dipenuhi dengan keterkejutan dan kebingungan, “Mira… Mira cuma pernah bilang, kenapa gue nggak jadian sama loe. Dan gue jawab nggak mungkin. Mira nggak pernah tau gimana perasaan gue sebenernya ke loe. Ga.” Tentu saja Mira tidak akan pernah bercerita tentang apa yang Rangga katakan. Karena Mira, temannya itu, jelas-jelas sudah jatuh cinta pada Rangga sejak masa orientasi pengenalan kampus.
“Dia Cuma bilang itu?”, Rangga bertanya hampir tak percaya. “Pantes. Nggak pernah ada respon yang berarti. Sejak itu gue benar-benar menganggap loe cuma seorang Marsha. Yang bisa gue andalkan… nggak lebih.”
“Sebenernya loe bilang apa ke Mira?”
Rangga menggeleng. “Nggak penting lah sekarang.”, ucapnya seraya mengalihkan pandangannya ke Marsha, dan menatapnya dalam-dalam.
“Yang penting sekarang, semuanya udah terungkap.”, Dengan cepat, dan penuh tuntutan, Ia menggemgam kedua tangan Marsha. “Sha, gue butuh loe. Gue mau loe selalu ada di sisi gue. Kita mulai lembaran baru.”
Marsha hanya mematung. Penantian itu, harapan itu, akhirnya datang. Tapi batas penantian itu sudah berlalu tanpa disadarinya. Hatinya tak lagi berbunga-bunga ketika mendengar semua pernyataan Rangga tadi. Jika saja, semuanya terungkap beberapa minggu lalu, mungkin Ia masih akan berbunga-bunga. Namun kini Ia mengharapkan cinta yang lain… Rangga adalah angannya, hanya sebuah keinginan.. tapi bukan mutlak yang Ia butuhkan…
“mulai lembaran baru??…”
Tatapan Rangga melemah dan Ia mengangguk pelan, “Memulai lembaran baru. Menebus semua rasa sakit loe.”
Segurat senyum menghiasi wajah Marsha, menampakkan kedua lesung pipit yang manis. Dan Ia menggelengkan kepalanya beberapa kali.
“Nggak ada yang perlu ditebus. Semua yang pernah gue lakuin, tulus. Gue cuma sekedar memberi. Sekalipun sakit atau kecewa yang gue terima, itu resiko. Gue cuma memberi, cuma menyayangi, karena gue tau, Ga…, gue cuma mencintai” Marsha sendiri hampir tak percaya akan kata-kata yang baru saja keluar dari mulutnya. Tapi sejak Ia membaca surat tadi, mendengar semua penjelasan Rangga, Ia tahu betul siapa orang yang benar-benar ingin ditemuinya saat ini. Orang yang selau menjaganya, orang yang selalu ada untuknya, ketika Ia membutuhkan. Yah, Dialah yang dibutuhkannya…
Seketika Rangga tertunduk, sorot matanya tampak getir namun tetap membayang satu keteguhan hati yang ingin diperjuangkan…
“Sha, Mencintai tanpa dicintai adalah satu kelelahan.”
Marsha tersenyum lagi. Sebuah senyum yang tulus, dengan sorot mata jernih. “Iya. Tapi, mungkin itu harga yang harus dibayar untuk mencintai.”
“Gue mau ganti semua kelelahan itu sama kebahagiaan, Sha. Menebus semua kebaikan dan pengorbanan yang terabaikan selama ini. Marsha yang rela nunggu gue berjam-jam di kantin, sampai gue selesai berantem sama Mira. Yang peduli gue udah nyelesein tugas atau belum. Peduli apa gue udah punya buku referensi atau belum. Selalu dengerin semua masalah dan keluh kesah gue. Bahkan rela mengorbankan perasaannya sendiri demi gue bisa bersama Mira. Loe selalu ada untuk gue. Tapi gue nggak pernah ada untuk loe, Sha. Gue terlalu sibuk mikirin diri sendiri, perasaan gue, dan Mira. Apa yang gue dapat??Satu tahun penuh dengan kelelahan sama dia…”
Marsha melepas pandangannya jauh diantara hamparan pegunungan dan rintik hujan, segaris senyum masih membayangi wajahnya.
“Tapi… kalian -kan saling mencintai.”
Tatapan Rangga menghujam pada meja dihadapannya. Dihisap dalam-dalam rokoknya dan menghembuskan gelembung-gelembung asap beserta sekelumit emosi yang tersisa. Lalu pelan-pelan ia menggelengkan kepala. “Gue pernah berpikir, gue mencintai dia. Sebelum gue sadar, bahwa mencintai nggak sekedar mencintai. Dicintai nggak sekedar dicintai. Tapi lebih daripada itu, tentang kebutuhan dan keinginan. Gue sayang sama dia, tapi bukan dia orang yang bener-bener gue butuhin di hidup gue.”
Marsha menyimak penuturan Rangga dan menatapnya lekat-lekat, memuaskan banyak pertanyaan yang bergelimang dalam benaknya. Mencoba mengikuti alur pembicaraan Rangga yang menurutnya semakin membuat hati dan pikirannya tak menentu.
“Hubungan gue sama Mira nggak akan pernah berhasil, Sha. Satu, masalah keyakinan diantara kita. Kedua, pemikiran… berulang dan berulang kali gue coba ngerti dan ngalah untuk dia… tapi cuma berakhir … berantem… sampai gue capek. Gue mutusin untuk berhenti mencintai dia”
Seketika Marsha tercengang mendengar pernyataan Rangga,
“maksud loe… loe… putus?”
Rangga hanya mengangguk, seraya mematikan puntung rokoknya dalam asbak.
Tak terduga. Tiba-tiba Rangga mengenggam kedua tangan Marsha. Membuatnya seketika terkejut. “Maafin gue. Sha”
Marsha melepaskan tangan kirinya dari genggaman Rangga dan menumpangkannya pada tangan Rangga, seperti memberikan rasa simpati dan dukungan.
“Rangga, Udah gue maafin. Kita kan temen.”
Seperti ada satu keterkejutan di mata Rangga. Dan tangan kananya kini kembali meraih dan menggenggam erat tangan Marsha. “… Tapi gue membutuhkan loe lebih dari sekedar temen…”
Kali ini gantian Marsha yang terhenyak dari rasa simpatinya. Suatu kalimat yang pernah diangankan dan diimpikannya di masa lampau, yang kini hanya membuatnya terkejut dan bingung, karena Ia tak tahu bagaimana harus menanggapi situasi ini. “Kasih gue kesempatan untuk menebus semua sakit, dan kekecewaan loe selama ini.”, ucap Rangga dengan sungguh-sungguh.
Seolah-olah seperti tak mendengar pernyataan Rangga, tiba-tiba Ia memotong dengan satu tuntutan yang baru saja terlintas dalam hati dan pikirannya, “Rangga… kalau loe bener mau menebus itu semua, Loe mau kan sekarang anterin gue balik ke Vila? Gue harus buru-buru balik Ga…”
Ekspresi kebingungan menyelubungi wajah Rangga. Dia tidak mengerti akan respon Marsha. “Kok balik ke vila?”, Ia mengernyitkan dahinya.
“Iya, Ga. Balik ke vila. Sekarang.”, Ucap Marsha mendesak.


Kebingungan mengendap dalam hati Rangga ketika Ia meninggalkan restoran bersama Marsha. Sementara pikiran Marsha entah tengah melayang kemana. Mereka memasuki mobil dengan tergesa-gesa.
“HP gue.” Sergah Marsha ketika menemukan HP nya yang ternyata dari tadi tertinggal di Jok mobil Rangga. “Ya ampun, 10 missed calls. Mas Bi..” Tiba-tiba, ada perasaan panik yang menghinggapi dirinya, ketika Ia membaca keterangan di layar HP tersebut. Ia mencoba menghubungi Bima kembali… “Telpon yang anda tuju sedang tidak aktif …”, hanya suara mailbox yang menjawab panggilannya.
“mati, Ga …”
“Mungkin udah tidur, Sha.”ujar Rangga.
“Kenapa dia nggak telpon ke HP loe ya?”, Tanya Marsha
“HP gue lobat, mati dari tadi. Udah, ini kan kita juga mau balik.”
Baru sepuluh meter mereka beranjak keluar dari restoran, jalanan yang tadinya lengang, tiba-tiba saja kini menjadi sedikit macet. Jalur sebelah kanan, dari arah berlawanan, lebih macet lagi hingga hampir tak bergerak. Tampak dari kejauhan, sorot lampu mobil polisi dan keramaian orang di jalur tersebut. Beberapa petugas kepolisian, berusaha mengatur jalan, dan beberapa tengah mengevakuasi sesuatu di tengah hujan yang kian mengeras. Hampir setengah jam mereka terjebak dalam kemacetan itu. Hingga Satu orang petugas dengan jas hujan tampak, barulah perlahan-lahan antrian mobil di jalur kiri bisa bergerak kembali.
Dari balik embun dan butiran-butiran air di kaca, Rangga dan Marsha sempat melihat samar samar, sebuah mobil sedan ringsek, di pinggir jalur kanan, dan sebuah truk kosong terbengkalai tak jauh dari mobil sedan tersebut. Rasa penasaran menyembul dalam benak Rangga untuk mengamati kecelakaan mobil itu lebih cermat, namun sedan itu sudah terlalu sulit dikenali, telebih di tengah derasnya hujan. Marsha mengalihkan perhatian dari kecelakaan yang begitu dekat dengannya, Ia terlalu takut melihat kecelakaan lalu lintas, sejak kedua orangtua nya tewas dalam sebuah kecelakaan mobil. Untuk itu, Ia tak mempedulikannya, Ia hanya sibuk mencoba menghubungi Bima. Yang lagi-lagi hanya dijawab oleh suara mailbox. “Telpon yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar servis area…”
Marsha bersyukur, akhirnya Ia sampai juga di depan pintu gerbang Vila. Pak Parmin membukakan pintu gerbang berteduhkan sebuah payung plastik. Tapi tiba-tiba Marsha seperti bingung ketika memasuki pekarangan Vila. Ia tidak mendapati mobil Bima di sana. Begitu Mobil Rangga terparkir di carport villa, Marsha buru-buru turun dan merundungi Pak Parmin dengan pertanyaan.”Pak Parmin… Mas Bima pergi? Pergi kemana Pak?”
“Tau, non. Tadi si Aden pergi buru-buru.”
Tak mendapat cukup penjelasan dari Pak Parmin, Ia segera berlari ke dalam meninggalkan Rangga yang kebingungan melihat tingkahnya di teras.
“Bi… Bibi… Bi Minah…”, Marsha mencari-cari Bi’ Minah ke dapur.
Dengan wajah sedikit mengantuk, dan cepol yang sedikit awut-awutan, Bi Minah yang sudah tampak tua itu menghampiri Marsha,
“Ya, Non. Ada apa? Pulang-pulang kok teriak-teriak begini, kenapa?”
“Bi, Mas Bima kemana?”
“Lhaaa… emang ngga pulang bareng sama Non?”
Marsha mendadak jadi bingung sekaligus panik.
“kok pulang sama saya, Bi. Saya kan pergi sama Rangga bukan Mas Bi”
“Iya. Tapi tadi kata den’ Bima. Dia mau nyusul, apa nyari Non, gitu…”
“Nyusul saya?”
“Lha, iya begitu katanya, Non.”
Pantas saja ada begitu banyak missed call di HP nya dari Bima. Bima pasti menghubungi, untuk menanyakan dimana keberadaannya. Tapi kenapa harus nyusul segala? Toh’ ntar juga ketemu lagi di vila. Dan… Sekarang… dimana Bima sekarang? Harusnya dia menunggu di vila. Tapi kenapa belum balik juga?
“Dari jam berapa Bi’ perginya?”
“kayaknya, nggak lama setelah Non pergi”
“Tapi kenapa dia nyusul saya ya, Bi?” Kepanikan membuatnya merasa begitu lelah, dan pelan-pelan rasa sesak di dada mulai dirasakan. Ia mulai merasa sedikit sulit bernafas.

“Bibi juga kurang tau Non. Tapi kayaknya buru-buru sekali, seperti penting gitu. . Duh, Non, tenang Non. Ntar itu… kambuh lagi.”
Diam-diam, tanpa disadarinya, Rangga tengah mengamati semua kekhawatiran dan kecemasannya dari belakang. Ada suatu kecemasan yang berlebihan. Kenapa Ia begitu memaksa untuk dapat bertemu Bima? Apa tidak bisa menunggu? Kenapa Ia begitu khawatir?
“Sha…”, Suara Rangga membuyarkan seketika kepanikannya. Rangga merengkuh bahunya dari belakang, seperti memberi ketenangan,
“Duduk dulu, Sha. Tenang. Nanti juga pulang. Yuk, gue temenin.”, Ajak Rangga, seraya membimbingnya ke ruang TV dan mendudukkannya di sofa
“Iya, Non. Ditunggu aja. Bibi buatin coklat panas ya. Mas Rangga mau minum apa, mas?”
“Apa aja, Bi”
“Iya. Iya. Sebentar ya, Bibi buatkan.”
Jarum Jam di dinding terus berputar, sejak mereka sampai di vila tadi. Pukul sembilan. Pukul sepuluh. Pukul sebelas. Menit demi menitnya terus berlalu, hingga butiram-butiran air hujan pun tak bergeming lagi. Kini jarum jam bergeser tepat di pukul duabelas. Dan Bima tak kunjung kembali.
“Sha, mending loe tidur.”, Tanpa harus disuruh, sesungguhnya kantuk memang sudah menyerang dirinya dari tadi. Asa yang dinanti, ketakutan dan kecemasan akan keberadaan Bima yang menghabiskan energinya dari tadi, tanpa terasa membawanya tertidur juga..
“Bi. Bi Minah.” , Rangga memanggil Bi Minah dengan suara yang lirih dan berusaha mengetuk pintu kamarnya.
“Ya. Mas. Ada apa?”, Bi Minah bertanya dari ambang pintu kamar.
“Bi. Tolong Bantu saya, tunjukkin kamar Marsha. Biar saya angkat, dia ketiduran di sofa.”
“Oh. Iya. Mas. Mari.”
Dengan sangat hati-hati Rangga berusaha mengangkat tubuh kecil Marsha dari Sofa. Disandarkannya Marsha di pundaknya, lalu dibopong, seperti Ia membopong anak kecil yang tertidur dalam pelukan. Sementara Bi’ Minah membimbing Rangga ke kamar Marsha.
Rangga merebahkan tubuh Marsha perlahan-lahan di atas ranjang, takut kalau Ia terbangun. Ditariknya selimut dari ujung ranjang, dan diselimutinya Marsha seraya memperhatikan wajah mungil yang masih menyisakan rasa kekhawatiran, bahkan ketika Ia sudah terlelap.

“Mas Bi…”, Marsha menggeliat dan nama Bima terucap dari bibir tipisnya dengan mata masih terpejam. Membuat Rangga yang baru saja akan beranjak, menghentikan kembali langkahnya dan tertegun di antara dinding-dinding kosong di kamar itu.


Marsha terjaga, ketika samar-samar terdengar suara pintu kamarnya diketuk. Suara berat yang sangat familiar di telinganya menyebut lirih namanya dua kali dari balik pintu. Perlahan-lahan pintu kamarnya terbuka. Sosok putih, bertubuh atletis dengan rambut spike yang amat dikenalnya itu muncul dari balik pintu. Seketika, rasa kantuk dan lelahnya hilang. Marsha begitu senang melihatnya.
“Mas Bi… kenapa baru pulang Mas? Dari mana?”
Bima tidak menjawab. Ia hanya tersenyum. Sebuah senyum yang memberikan ketenangan. Dan Ia berjalan mendekati ranjang Marsha, duduk tepat di samping ranjang, begitu dekat dengannya, kemudian menatap Marsha penuh kasih sayang.
“Sha, kamu jangan khawatir lagi ya.”, ucap Bima seraya mengulurkan tangan, dan mengusap rambut Marsha.
Marsha hanya mengangguk. Ia memang tidak perlu khawatir lagi, pikirnya. Orang yang selalu dibutuhkan, kini sudah kembali berada di dekatnya. Dan Ia akan mengungkapkan betapa Ia menyayangi serta membutuhkan Bima untuk selalu ada di sisinya, tak peduli dengan resiko yang akan dihadapi nanti.
“Mas Bi …”, ucap Marsha lirih.
“Sst…”, Bima menempelkan jari telunjuk di bibirnya, “Sha. Mas Bi, ngerti. Mas Bi akan selalu sayang sama kamu.”, dan tanpa diduga-duga, dengan satu gerakan yang begitu lembut, Ia mengecup kening Marsha. Semua terasa begitu menenangkan, membuatnya nyaman, hingga terpejam kembali dalam buaian Bima.
Mata Marsha terbuka seketika. Masih terasa sentuhan dan kecupan Bima beberapa saat lalu. Tatapannya tertumbuk pada jam dinding. Pukul empat dini hari. Tiba-tiba kepanikan menghinggapi hati, jiwa, dan pikirannya kembali. Mas Bima? Dimana dia sekarang? Sekilas Ia menoleh ke sisi ranjang, tempat dimana Bima menghampirinya tadi. Tapi kosong. Dimana Mas Bima? Ia –pun segera beranjak dari tempat tidurnya dan berlari keluar…
“Mas Bima… Mas Bima…”, Ia mengetuk pintu kamar Bima. Tak ada jawaban. Kamar itu tak terkunci. Maka Ia masuk. Namun tempat tidurnya masih rapih dan tak ada siapa pun disana.
“Marsha, …”, Rangga yang terbangun, buru-buru menghampiri. Bingung melihat tingkah sahabatnya itu.
“Ga, Mas Bi mana? Tadi udah pulang kan, kok ngilang lagi.”, ucap Marsha panik.
“Bima belum pulang, Sha.”, Rangga menjawab dengan tegas.
“Mas Bi tadi ada…”, Sanggah Marsha seperti berusaha meyakinkan Rangga.
Rangga pun menggeleng. Ia menatap Marsha dengan tatapan hampir prihatin. Direngkuhnya kedua bahu Marsha, dan ditatapnya Marsha dalam-dalam…
“Sha, Bima belum pulang. Sadar, Sha. Mungkin loe cuma mimpi.”
Marsha hanya menatap kosong pada Rangga. Tiba-tiba Ia merasakan ada satu rasa kehilangan di hatinya. Begitu sakit, hingga akhirnya perlahan-lahan air mata menetes di pipi dan Ia -pun terkulai lemas dalam pelukan Rangga.
“Mas Bi dimana, Ga? Tadi dia datang… dia…”, Marsha tak kuasa lagi mengingat kata-kata Bima dalam mimpinya, karena takut itu hanya suatu firasat buruk. Akhirnya Ia hanya dapat menangis… menyimpan ketakutannya sendiri.


Awan mendung membalut langit biru, membuka pagi hari yang tampak sunyi dan dingin di sekeliling vila. KRING. KRING. KRING. Telpon di ruang TV tiba-tiba berdering memecah keheningan, berulang dan berulangkali, seolah-olah tak dapat menunggu lebih lama lagi untuk diangkat. Bi Minah dengan tergesa-gesa mengangkatnya,
“Halo.. Halo… Iya, saya Minah, Nyah.”, Sahut Minah
“Oh. Non Marsha. Iya ada. Sebentar, Nyah.”, sambungnya.
Dengan tergopoh-gopoh, Bi’ Minah menghampiri kamar Marsha yang sudah membuka sejak pukul empat pagi tadi. Ia terkulai lemas di atas ranjangnya, sementara kepala Rangga tersandar di sebelah pinggir ranjang, dan bagian tubuhnya yang lain hanya terduduk di lantai dingin.
“Duh. Non. Non Marsha. Mas…”
Seketika Marsha membuka matanya, diikuti Rangga kemudian, yang terganggu oleh suara Bi’ Minah.
“Mas Bima udah pulang Bi?, ucap Marsha seraya mengusap matanya. Bi’ Minah menggeleng. “Telpon Non. Nyonya telpon, dari Jakarta. Penting sepertinya”
Sekali lagi Marsha menghela nafas. Dengan sedikit lunglai, perlahan ia beranjak dari ranjangnya dibantu oleh Rangga.
Marsha menggapai gagang telpon. Rangga yang masih terselimuti kantuk, mencoba duduk di sofa dan menyalakan TV …
“… Kecelakaan tragis yang menewaskan novelis BIMA KERTAREJASA terjadi pada hari Sabtu kemarin, diperkirakan sekitar pukul delapan malam, di bilangan puncak pada KM 218. Jenazah diantar oleh pihak yang berwajib ke RSCM pukul …”
Suara presenter TV itu mendadak seperti hilang ditelan deru angin dan seketika ruangan serasa membeku. Mata Rangga terpaku pada layar kaca. Jantungnya mendadak hampir terhenti, dan lidahpun menjadi kelu. Seketika, pikirannya terpecah pada sepenggal kejadian tadi malam. Kecelakaan beberapa meter dari restoran. Mobil sedan hitam yang sudah sulit dikenali. Rasa penasarannya malam itu…, dan mendadak Rangga tak dapat berucap sepatah kata pun. Perlahan, dalam kebekuannya, Ia menoleh mencari sosok Marsha yang berada tak jauh darinya…
Gagang telpon sudah jatuh menjuntai, hampir menyentuh lantai. Marsha terduduk lemas di lantai, dengan tatapan kosong, tak bersuara. Gadis itu tak bergeming sedikitpun. Hanya air mata mengalir pelan menjatuhi pipi.


Satu per satu, orang-orang berbusana hitam meninggalkan pemakaman. Membawa pulang rasa simpati, dan cerita tentang seorang pria santun dalam kenangan mereka masing-masing. Tidak ada yang menyangka, BIMA meninggalkan keluarga, teman, sahabat, dan tunangannya dalam waktu yang begitu singkat. Terlebih lagi Marsha, yang berada bersamanya di saat-saat paling terakhir…
Ibu Retno Kertarejasa, dibimbing oleh calon menantunya, Claudia, meninggalkan tempat peristarahatan putra satu-satunya itu. Membiarkan Marsha sendiri, masih terjongkok di sanding pemakaman kakak angkatnya. Ia tahu, pasti masih sulit bagi Marsha untuk melepas Bima. Mereka terlalu dekat, sekalipun mereka bukanlah saudara kandung. Ibu Retno melewati Rangga, yang setia berdiri dibelakang Marsha,
“Rangga, tolong temani Marsha ya.”, bisik Bu Retno disela-sela isak tangisnya,
Rangga menggangguk dan kemudian memeluknya, memberi penghiburan bagi Ibu dari teman dan gadis yang kini dicintainya itu. “Tante harap, kamu bisa menjaga dia seperti Bima menjaganya. Tolong tante ya, nak. Tante tau dia sangat kehilangan mas –nya itu.”, sambung Bu Retno tepat di telinga Rangga. “Iya. Tante.”, ucap Rangga prihatin. Dan mereka pun berlalu, meninggalkan Marsha dan Rangga dalam kedukaannya.
Setengah jam sudah berlalu, Marsha masih tercenung di sanding pemakaman Bima. Tak bergeming sedikitpun, hanya air mata mengalir pelan dari sorot matanya yang hampir hampa. Membuat Rangga, yang berada di sisinya selama tiga hari ini mulai khawatir. Ia takut, kepergian Bima mampu mengguncang jiwa gadis mungil itu. Tak tega dan cemas melihatnya, Rangga-pun mendekati dan turut berjongkok di sebelah Marsha serta merangkulnya.
“Marsha. Kita pulang ya.”, Bujuk Rangga dengan lembut. Namun Marsha hanya diam dan menatap pada timbunan tanah yang dipenuhi bunga-bunga merah dan putih.
“Udah setengah jam kita di sini. Sekarang kita pulang, Sha.”, Bujuk Rangga dengan nada yang lebih menekan. Tapi Marsha masih juga terdiam. Rangga mengusap-ngusap punggung Marsha. “Marsha, udah… loe harus bisa ngerelain Bima…”, sekali lagi Rangga berusaha menghentikan kesenduan Marsha yang baginya semakin lama semakin mengkhawatirkan.
“Tapi ada yang belum sempet gue ucapin ke Mas Bi…”, Tiba-tiba suara parau yang benar-benar tampak terpukul itu terdengar… dan mata yang semula tampak membeku mulai bergeming, menatap tepat kedalam bola mata Rangga. Membuat Rangga serasa tertusuk oleh kepedihan sorot matanya.
“Marsha, denger. Denger ya baik-baik, Sha. Sekarang pun loe bisa ucapin apapun untuk dia. Di atas sana, gue yakin, dia bisa denger dan lihat semua yang kita lakuin di sini.”
Marsha menggeleng pelan, “Loe nggak ngerti, Ga. Gue… Gue…Cinta Mas Bi. Gue Butuh Mas Bi.”, akhirnya kata-kata yang tak pernah sampai pada orang yang dituju itu meledak juga, melukai orang yang lain tanpa sengaja. Dan tangis pelannya pun terburai.
Kini Rangga yakin betul dengan firasat yang telah dirasakannya sejak sabtu malam lalu, sepulang dari restoran. Akan kecemasan Marsha, akan kepanikan dan ketakutan yang berlebihan. Ternyata semuanya benar… Marsha baru menyadari orang yang benar-benar dibutuhkannya adalah Bima… tepat ketika dirinya menyadari hal yang sama pada Marsha. SAKIT. PERIH. Itulah yang ia rasakan. Tapi ia bersyukur, pikirnya dalam hati. Karena ia masih sempat mengungkapkan isi hatinya. Orang yang dicintai dan dibutuhkannya –pun masih ada dihadapannya. ‘Gue mungkin terlambat… tapi gue akan belajar memberi, belajar mencintai… hanya tulus mencintai… walaupun bagi gue itu sakit, sha..”, gumamnya dalam hati.
Sepanjang perjalanan pulang, dalam mobil, Rangga dan Marsha, sama-sama terdiam dalam kesedihan masing-masing. Hanya suara wiper dan vokal Rio Febrian yang melantunkan tembang ‘Bukan Untukku’ mengalun pelan diantara mereka…
‘Aku tak kan bertahan
Bila tak teryakinkan
Sesungguhnya cintaku memang hanya untukmu
Sungguh ku tak menahan
Bila jalan suratan
Menuliskan dirimu memang bukan untukku
Selamanya …
Kadang aku lelah menantimu
Pastikan cinta untukku…
Aku takkan bertahan
Bila tak teryakinkan
Sesungguhnya cintaku memang hanya untukmu
Sungguh ku tak menahan
Bila jalan suratan
Menuliskan dirimu memang bukan untukku’
Oooo…..wo…wo ooo…

Jazz hitam Rangga terhenti di pekarangan rumah Marsha yang masih sedikit ramai oleh keluarga. Beberapa detik lamanya, Marsha baru tersadar kalau dia sudah sampai di rumah. Rangga berusaha keras untuk tersenyum, sekalipun kini hatinya serasa hilang tiap kali ia harus menatap Marsha.
“Ga. Makasih, ya.”, ujar Marsha seraya berusaha keras menunjukkan kembali keceriaannya. “Makasih karena udah nemenin gue tiga hari ini.”, Dan senyumnya pun mengembang untuk Rangga.
“Nggak Cuma tiga hari ini, Sha. Hari-hari selanjutnya juga.”, balas Rangga.
“Makasih.”, Marsha membuka pintu mobil dan keluar. Kedua tangan Rangga meremas setir didepannya dengan mata tertumbuk pada benda itu. Ada yang masih mengganjal di hatinya yang kini rapuh. Satu tuntutan, yang samar-samar ingin dipuaskan oleh satu kepastian. Maka secepat kilat, Ia membuka pintu mobilnya, keluar, dan buru-buru menyusul Marsha kembali.
“Sha… Marsha…”, panggilnya. Membuat langkah-langkah kecil Marsha terhenti, dan menoleh kembali ke arah pemilik suara itu.
“Kenapa Ga?”
Rangga tak segera menjawab. Lama ia hanya terpaku di tempat. Matanya menunjukkan kebimbangan.
“Rangga… ada apa, Ga?”, Tanya Marsha kembali.
“mmm… Sha, maaf. Gue tau mungkin ini bukan waktu yang tepat. Tapi gue harus tanya sekali lagi, atau akan lebih terlambat…”
Marsha memicingkan matanya, “Maksud loe?”
“Mengenai… umm… mmm… pembicaraan kita di puncak…”, ucapnya ragu-ragu, “Mengisi kebahagiaan dalam hidup loe…”
Rangga memang KETERLALUAN. Kok masih sempat juga dia membicarakan hal tempo hari, saat ini? Pikir Marsha selintas. Namun, ya, sudahlah pikirnya lagi. Itulah Rangga. Marsha melangkah mendekati Rangga. Untuk pertama kalinya, Ia merasa begitu tenang dan hanya menjadi Marsha di hadapan Rangga, tidak ada lagi kepura-puraan.
“Rangga… teman baik selalu bisa mengisi kebahagiaan untuk temannya, saling berbagi, kapan aja, dimana aja.”
Rangga menunduk seketika. Ia tahu Ia telah kehilangan cinta gadis itu. Tapi ia juga tak kunjung menyerah pada detik-detik penghabisannya…
“Gue mau mengisi kebahagiaan, dan menjaga loe, kayak Bima melakukan untuk loe. Dari sini, dari hati ini”, Yah, sejak kedatangan Bima beberapa waktu lalu ke rumahnya, Rangga menjadi yakin, kalau temannya itu mencintai Marsha dengan caranya sendiri, lebih dari apa yang pernah ia kira.
Marsha memainkan jari-jari tangan kirinya di bibir, menahan rasa haru. “Makasih Ga. Tapi… tempat Mas Bi tetap disini…”, tangan Marsha menunjuk pada dadanya, “Nggak akan tergantikan…” dan Marsha melangkah lebih dekat lagi. Begitu dekat dengannya. Hingga begitu mudah untuk Marsha meraih tangan Rangga, dan menggenggamnya, “Rangga,… loe akan tetap jadi sahabat terbaik gue. Sahabat, dimana dengannya kita akan berbagi diri. Berbagi sepotong ruang dari kesepian kita. Menghiasi ruang itu dengan cerita-cerita yang akan saling kita ungkapkan, yang akan mengubah kita, menjadi saling menjaga dan memperkaya satu sama lain. Bisa kan…”, ucapnya.

Hari demi hari. Bulan demi bulan. Dan tahun demi tahun pun berlalu. Tak ada yang berubah diantara mereka. Rangga memang selalu ada di sisi Marsha, di saat susah, di saat senang, di tiap kesempatan yang ada. Dengan kerjasama yang erat berusaha Membangun dan mewujudkan impian yang seringkali mereka bicarakan di kantin kampus dulu. Sebagai sahabat. Hanya sahabat, hampir seumur hidupnya.

-Vallesca-

3 COMMENTS

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here