Dilema Cinta Sejenis: Aku, Dia, dan Kekasih Wanitanya

 “Aku menang. Aku memenangkan segalanya. Tetapi aku menangis. Menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah milik kami, penyuka sejenis.”

AKU: “Terlahir Sebagai Pria, Tetapi Memiliki Lekuk Tubuh Wanita”

Aku populer di sebuah perusahaan retail. Pembawaan yang ceria dan kata orang jenaka, membawaku ke berbagai lingkungan pergaulan, termasuk diantaranya ke kalangan yg tidak tersentuh pegawai biasa. Kemampuan berkomunikasi dan wawasan yg luas. 

Aku memiliki analisa sales yang tajam, akurasi stock yang  jarang meleset, dan kreativitas dalam berjualan. Namaku melesat dalam hitungan tahun. 

Aku menikmati tahun tahunku di perusahaan itu, ditambah aku handal dalam koreografi untuk berbagai acara lomba dan acara company

Tubuhku sexy kata orang. Bahkan pria pun yang hidungnya katanya belang mengakui lekuk tubuhku, dan bokong padatku yg kata mereka nggak kalah sama deretan tubuh beauty advisor di toko.

Aku lelaki, terlahir sebagai pria, tetapi memiliki lekuk tubuh wanita. Berbahayakah? Sangat. Karena aku tahu cara menggunakan tubuhku untuk menjadi pusat perhatian. 

Aku tak pernah menutupi orientasi seksualku. Semua tahu aku seorang penyuka sesama jenis. Concealer, lip pencil, nude lipstick selalu kukenakan setiap hari tanpa membuat wajahku terlihat seperti banci pinggir jalan. Pria pria dari kalangan manager itu dengan mudah ku buat bingung antara logika dan nafsunya. 

Manager tertampan di perusahaan itu adalah kekasihku. Pria beristri yg bahkan menghargaiku jauh lebih mahal dari isterinya. 

Bos tersohor adalah back-up ku. Sosoknya yg berkelas hasil didikan Washington DC selama 5 tahun, dengan sabar menemani dan mendukung perjalanan karierku. Melesat bagai kilat. Aku manager termuda di posisi nomer dua di toko. 

Semua indah, sampai aku terjerat, jatuh tersungkur dalam kebodohan cinta pada satu laki laki yg kerap disebut pendatang baru berprestasi. 

Dia datang padaku begitu saja. Menemani malamku hingga pukul dua atau tiga. Berbicara dengan hangat penuh perhatian, dan mengucapkan selamat tidur sayang setiap malam. 

Kulupakan kekasihku, dan jatuh ke pelukannya. Dia ayah yang baik, mengaku padaku ber istri resmi. Aku percaya dengan semua kalimatnya, hingga 2 tahun aku setia menemaninya dengan berbagai batasan. 

Tak ada pertemuan dan komunikasi di sabtu-minggu. Tak apa karena ada pesan bertuliskan “sayang, aku kangen kamu” setiap Senin. 

Berbagai aturan yg kata orang “pacar lu keterlaluan posesif”, ku nikmati sebagai bentuk cinta. 

Aku percaya. 

Aku percaya. 

Menemaninya tak pernah mudah. Dia adalah seribu masalah. Terutama dalam pekerjaannya. Apapun kulakukan untuk melindunginya. Sujudku adalah untuknya. Dia dalam doaku setiap saat. 

Kulakukan APAPUN untuk menyelamatkannya saat ia terkena masalah. Ku angkat saat dia jatuh untuk bangkit, ku obati luka lukanya dgn kasih sayang. Ku tanggung semua pengorbanan itu karena aku cinta.

Ku jual harga diri hingga tubuhku untuknya.

Dusta Lelaki ‘Tuk Lelaki

Hingga satu hari ku temukan fakta. Sisi lain hidupnya yg kupercaya, tetapi ternyata berbalut dusta. Dusta, dusta, dimana mana. 

Ia telah bercerai, tidak menikah. Ia memiliki kekasih yang ia pacari jauh lebih lama dari sebelum dia mengenalku. Aku bukan lah si nomer dua, aku si nomer 3 dalam hidupnya. Mantan isterinya, kekasih wanitanya, dan aku.

Weekend itu adalah hari bersama kekasih wanitanya. Dua tahun aku percaya untuk semua kisahnya. 

“Tinggalkan aku, aku gak papa, jalani kehidupan normal mu, bina keluarga,” ucapku padanya. 

“Ga bisa yank, aku ga bisa. Aku ga bisa tanpa kamu, maaf yank, maaf. Kalau aku ga cinta sama kamu, kamu udah aku tinggal dari dulu yank, tapi aku ga bisa”.

Kalimat-kalimat memohon, dengan isak tangis diantaranya, disusul puisi, lagu, dan berbagai tulisan meyakinkanku.

Ku terima dia kembali.

Dia tak pernah tahu pergaulanku yg luas, mengantarkanku pada sahabat kekasih wanitanya.

You married her!!“, ucapku. Hanya desah nafas disana tanpa kata. “Why? Kenapa kamu mempertahankan aku tapi pada akhirnya menikah sama dia?”

“Gak ada pernikahan tanpa persiapan, bisa bisanya kamu masih sama aku sementara kamu persiapkan segalanya untuk pernikahan kamu”.

“Kenapa tidak bersama dia setelah aku ijinkan lepaskan aku?

Diam dan diam dari mulutnya tanpa kata. Dia tak pernah mau bertemu denganku. Aku dicampakkan begitu saja…seperti sampah.

Aku butuh melihat wajahnya. Aku butuh mendengar dari mulutnya sendiri bahwa dia memutuskan aku.

Dua tahun lebih aku bersamanya. Tidak selayaknya aku dibuang seperti sampah. Tapi dia berlindung di ruangan kerjanya, dengan lapisan pengamanan yang mengkondisikanku tak bisa menemuinya.

Berbulan bulan aku bersama, mengemis padanya memohon sebuah pertemuan, tapi dia tak pernah mau. Hingga aku di puncak kemarahanku.

Kugunakan semua relasiku, kugunakan semua kekuatanku dan pengaruhku untuk memindahkannya dari kantor pusat tempat ia berlindung. Semua kulakukan untuk menariknya keluar. Semua usahaku berhasil.

Kalimat kalimat penyangkalan keluar dari mulutnya atas hubungannya denganku. Kalimat yg tentunya menyakiti hatiku.

Sarapan pagi biasa buatku membuka pesan pesan makian darinya setiap pagi. Tapi aku hanya diam dan diam tak pernah membuka jati dirinya.

Hingga satu sore dia menghubungiku. “Mau apalagi?”. Pertanyaan paling aneh yg tentu saja ku jawab “menemuimu”. 

Dia menjawab belum saatnya. Dia minta aku menjalani hidupku, karena semua kesalahanku. Aku yg memintanya menikah. 

Semua kesalahan ditimpakkan padaku hingga terucap dari mulutku “tidak ada orang di dunia ini yg berhak memperlakukan aku begini, walau aku seorang banci, homo”.

Ketika dia kembali memaki, maka sesuatu yg kutahan selama ini tak mampu lagi kutahan. Ku posting semua foto kami berdua, screen shoot semua pesan mesranya, wajahnya bersentuhan denganku. Kubakar semua kemungkinan bersamanya lagi dengan membuka segalanya.

Aku menang.

Aku memenangkan segalanya.

Tetapi aku menangis.

Menyadari bahwa kebahagiaan bukanlah milik kami, penyuka sejenis.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here